Menurut orang-orang “Kristen Radikal” informasi dari Robert morrey
sangatlah bermanfaat untuk menyerang “ketuhanan islam”,seperti
mendapatkan sebuah amunisi.
tetapi orang-orang yang begitu bersemangat untuk memberikan tuduhan
seperti itu tidak berfikir panjang,bahwa faktanya didalam Al kitab
banyak sekali menggunakan “istilah Allah”
maka ada sebagian orang-orang Kristen yang meyakini bahwa nama Allah
sebagai nama “dewa bulan” , dan melihat realita didalam al kitab
menggunakan istilah Allah maka mereka melakukan perubahan / penggantian
nama Allah diganti dengan nama YHWH.
maka persoalan ini saya akan menyampaikan pandangan/tanggapan /
penjelasan nama Allah dari berbagai sudut “Intelektual” baik yang masih
Kristen ataupun dari Intelektual Islam.
pertama dari orang Kristen:
Banyak pertanyaan diajukan mengenai ‘Apakah Allah Islam sama dengan
Allah Kristen?’ dan argumentasi yang banyak dikemukakan adalah bahwa
‘Allah Islam tidak sama dengan Allah Kristen’ alasannya ‘Karena ajaran
keduanya berbeda!’. Pandangan ini tercermin dalam buku Dr. Robert Morey
yang beredar bahkan dianut belakangan ini di kalangan tertentu di
Indonesia:
“Islam claims that Allah is the same God who was revealed in the Bible.
This logically implies in the positive sense that the concept of God set
forth in the Quran will correspond in all points to the concept of God
found in the Bible. This also implies in the negative sense that if the
Bible and the Quran have differing views of God, then Islam’s claim is
false.” (Islamic Invasion, Harvest House Publishers, 1992, h.57).
Definisi Morley ini memiliki kelemahan dasar berfikir yang fatal yang
menganggap masalah-masalah teologi (ilmu sosial) bersifat eksakta dan
mencampur adukkan pengertian soal ‘identitas’ dan ‘opini’ (meta basis).
Dari dasar berfikir atau asumsi ini, maka dihasilkan kesimpulan bahwa
(1) Bila Allah Islam adalah Tuhan Kristen, maka secara positif konsep
keduanya mengenai Tuhan harusnya sama dalam setiap butirnya, sebaliknya
secara negatif disebut bahwa (2) Bila Al-Quran dan Alkitab memiliki
pandangan berbeda mengenai Tuhan, maka klaim Islam adalah salah.
Pandangan yang terlalu sederhana ini dengan mudah bisa digugurkan bila
kita mengambil contoh soal ‘Suharto’ mantan presiden ORBA. Menurut
definisi Morley, bila Suharto yang dimaksudkan oleh para pengikut ORBA
sama dengan Suharto yang di demo mahasiswa, maka konsep keduanya
mengenai Suharto akan sama dalam setiap butirnya. Faktanya sekalipun
Suhartonya sama konsep keduanya berbeda. Bagi para pengikut ORBA,
Suharto adalah bapak pembangunan yang membawa kesejahteraan dan
mendatangkan kesatuan dan keamanan regional, padahal Suharto yang sama
itu oleh para mahasiswa dianggap sebagai bapak pembangkrutan yang
membawa kemiskinan karena KKN dan tiran yang membawa bangsa Indonesia
kepada disintegrasi bangsa.
Mengapa berbeda? Dan kalau berbeda apakah klaim mahasiswa mengenai
Suharto salah? Di sini kita berhubungan dengan dua soal yang tidak bisa
dicampur adukkan satu dengan lainnya, yaitu bahwa Suharto sebagai
pribadi (oknum) dengan namanya dan konsep orang (ajaran atau aqidah)
mengenai oknum yang sama itu.
Soal yang sama terjadi dalam hubungan dengan pertanyaan mengenai apakah
‘Allah Islam sama dengan Tuhan Kristen?’. Jawabannya perlu kita lihat
dari Kitab Suci Islam (Al-Quran) maupun Kristen (Al-Kitab), dan juga
sejarah bangsa dan bahasa Semit.
EL SEMIT
Faktanya, bila kita membandingkan agama Yahudi (Alkitab Perjanjian
Lama), Kristen (Alkitab Perjanjian Lama dan Baru), dan Islam (Al-Quran),
kita dapat melihat bahwa ada butir-butir yang sama, namun banyak
butir-butir lainnya yang tidak sama (jadi bukan semua sama atau semua
tidak sama).
Bila kita melihat Alkitab PL, kita dapat mengetahui bahwa nama Tuhan
‘El/Elohim’ adalah pencipta langit dan bumi, manusia dan segala isinya.
Dan ia juga Tuhan yang menyatakan dirinya kepada Adam, Nuh, Abraham,
Ishak, dan Yakub. Agama Yahudi, Kristen dan Islam mempercayai itu semua,
namun mereka berbeda dalam kepercayaan akan wahyu mana yang dari El
yang sama itu yang dipercayai. Agama Yahudi mempercayai wahyu yang
dibukukan menjadi Alkitab Perjanjian Lama, namun sekalipun agama Kristen
menerima hal ini, agama Kristen juga mengakui penggenapan dalam Tuhan
Yesus Kristus yang wahyunya dibukukan dalam Perjanjian Baru padahal
Yahudi menolak.
“Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (kitab) yang diturunkan
kepada kami dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq,
Y’qub dan anak-anaknya, (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan
kepada Musa dan ‘Isa, dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari
Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga di antara mereka itu
dan kami patuh kepada Allah” (Al-Quran, Al-Baqarah, 2:136, Mahmud
Yunus, Tafsir Quran Karim).
Agama Islam, sekalipun menerima kitab yang diterima Ibrahim, Ishak,
Yakub dan Isa, namun lebih menerima kitab wahyu yang diterima Muhammad
dari jalur Ismael, dan menerima kitab-kitab Ibrahim, Ishak, Yakub dan
Isa sejauh diterima oleh Muhammad yang dipercayai sebagai nabi, dan
sekalipun menerima kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun karena dianggap
telah dipalsukan, maka kepercayaan kepada berita Al-Kitab terbatas
hanya bila hal itu dikuatkan dalam Al-Quran.
Jadi, dari terang Alkitab (PL+PB) dan Al-Quran jelas terlihat bahwa
sebagai oknum dengan namanya, Allah Islam adalah Tuhan Yahudi dan
Kristen. Namun karena wahyu yang dipercayai berbeda, dengan sendirinya
banyak pengajaran (aqidah)nya yang berbeda.
Agama Yahudi, kepercayaannya hanya bergantung kepada Perjanjian Lama,
akibatnya mereka memandang Tuhan ‘El’ (yang sejak Musa diberi nama juga
sebagai ‘Yahweh’ (Kel.6:1-2)) sebagai Tuhan monotheisme yang transenden
dengan hukum Taurat sebagai pedoman, namun agama Kristen berbeda dan
menerima kenyataan bahwa El Abraham itu juga telah menyatakan diri dalam
oknum Yesus dalam ke-Tritunggalannya, dan hukum kasih/Injil menjadi
pedomannya.
Islam mengikuti jalur Abraham mempercayai Tuhan ‘El’ itu yang dalam
dialek Arab disebut ‘Allah’ (dari al-ilah). Dalam bahasa Ibrani kata
sandang ‘the’ (‘al’ dalam dialek Arab dan ‘ha’ dalam dialek Aram-Siria
namun diletakkan di belakang menjadi ‘alaha’) tidak digunakan bila
menyebut Tuhan.
Dari sejarah kita mengetahui bahwa sejak awalnya ‘El’ bisa memiliki arti
umum sebagai sebutan untuk ‘Tuhan/Ketuhanan’ dan ‘Elohim’ sering
digunakan dalam arti kata jamak (politheistik) dan dipakai oleh
suku-suku keturunan Sem (menjadi rumpun Semit) dan karena perkembangan
zaman sering merosot sehingga dimengerti dalam berbagai-bagai ajaran
aqidah, namun ‘El/Il’ juga digunakan untuk menyebut ‘nama diri’ Tuhan.
“‘Ilu, El’ sebagai sebutan untuk ketuhanan. Istilah ‘il mempunyai arti
sebutan umum (generic appelative) untuk menunjuk pada ‘tuhan’ atau
‘ketuhanan’ pada tahap awal semua cabang utama rumpun bahasa Semit. Ini
terlihat jelas di Semit Timur, Akadian kuno (ilu) dan dialek-dialek
sesaudara dimulai zaman pra-Sargon (sebelum 2360 BC) dan berlanjut
sampai akhir masa Babil. Penggunaan sebagai sebutan juga muncul di Semit
Barat Laut, di Amrit (‘ilu, ‘ilum, ‘ila), di Ugarit, di Ibrani, dan
umum di dialek-dialek Arab Selatan kuno, di Arab Utara digantikan dengan
nama ‘ilah. ‘Ilu, El juga digunakan sebagai Nama Diri (proper name). …
Di Semit Timur ada bukti kuno yang menunjukkan bahwa ‘Il’ adalah nama
diri tuhan … tuhan Il (kemudian El Semit) adalah kepala ketuhanan pada
rumpun Semit Mesopotamia pada masa Pra-Sargon.” (G. Johanes Botterwech,
Theological Dictionary of the Old Testament, Vol.I, 242-244).
Dari sejarah ini kita dapat melihat bahwa ‘Allah’ di kalangan bangsa dan
bahasa Arab tidak lain menunjuk pada ‘El’ Semit’ yang sama, ini
dijelaskan dalam buku-buku teologi Kristen maupun Ensiklopedia Islam
bahwa setidaknya bangsa Arab mewarisi tiga jalur nenek moyang yang
semuanya mengenal ‘El Abraham’ yaitu sebagai keturunan Sem, Yoktan
(keturunan Eber), dan Adnan (keturunan Ismael anak Abraham).
Bahwa ajaran/konsep mengenai ‘Allah’ (El) itu kemudian merosot dan makin
tidak mendekati hakekat yang di’nama’kan dan ditujukan kepada pribadi
lain seperti yang terjadi pada jalur Ishak (Kel.32, Anak Lembu Emas
disebut ‘Elohim’ dan ‘Yahweh’) maupun jalur Ismael (masa jahiliah, dewa
berhala disebut ‘Allah’), tentu tidak mengurangi hakekat nama itu
sendiri sebagai menunjuk kepada ‘El’ semitik dan monotheisme Abraham.
Namun, sekalipun diyakini bahwa ‘Allah’ Yahudi, Kristen dan Islam sama,
tentu tidak disimpulkan bahwa Tuhan Semua Agama sama. Dalam pengertian
‘Universalisme’ (pluralisme agama) disebutkan bahwa semua agama itu
menyembah Tuhan yang sama (universal) namun melalui jalan-jalan yang
berbeda (partikular).
Kita harus menyadari bahwa setidaknya ada 4 golongan agama, yaitu (1)
‘Theisme’ – Tuhan yang berpribadi (Yahudi, Kristen, Islam), (2)
‘Monisme’ – Tuhan kekuatan semesta (Hindu-Upanishad, Tao dan Kebatinan),
(3) Non-Theis – Tuhan yang ‘non-exist’ (Buddhisme), dan (4) Demonisme –
Tuhan Okultis (satanisme). Bisa juga dimasukkan ‘politheisme’
(Hindu-Veda) sebagai golongan ke-5.
Sudah jelas ke-empat (atau ke-lima) bentuk Tuhan itu tidak sama, namun
harus diakui bahwa Tuhan ‘Theisme’ (Yahudi, Kristen, Islam) adalah Tuhan
Semitik agama samawi yang berpribadi, berfirman dan menurunkan wahyu
kepada umatnya, jadi sekalipun kita menyebut Tuhan Theisme Yahudi,
Kristen dan Islam menunjuk pada oknum yang sama namun sekalipun ada yang
sama juga ada yang berbeda ajaran/aqidahnya, sedang Tuhan Theisme,
Monisme, Non-Theisme, dan Demonisme jelas berbeda baik sebagai nama
oknum maupun ajaran/aqidahnya.
Tetapi bagaimana dengan definisi yang dicantumkan dalam kamus-kamus
dalam bahasa Inggeris? Disana disebutkan bahwa “Allah … Muslim’s name
for God” (a.l. Oxford Dictionary & Grollier Ensyclopedia). Kita
dapat membandingkan hal ini dengan definisi yang disebutkan dalam
Enyclopaedia Britannica, yang sekalipun mengakui ke-khasan nama Allah
dalam penggunaannya di kalangan agama Islam sebagai salah satu artinya,
dalam arti yang lain jelas memberikan pengertian yang lebih ilmiah dan
lebih mengandung kebenaran:
“Allah (Arabic:”God”), the one and only God in the religion of Islam.
Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic
al-Ilah, “the God.” The name’s origin can be traced back to the earliest
Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter
being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic
word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.”
Definisi yang benar ini juga disebutkan dalam Ensiklopedi Nasional
Indonesia dimana disebutkan bahwa: “ALLAH adalah Tuhan, pencipta alam
raya termasuk segala isinya”. (Vol.I, h.270).
Memang dalam literatur Barat termasuk dalam beberapa kamus, ada sentimen
kuat anti Arab/Islam sehingga sering timbul ungkapan-ungkapan
memojokkan yang tidak ilmiah seperti ucapan Morley di atas yang memberi
stigmata seakan-akan nama ‘Allah’ itu nama dewa/i masa jahiliah Arab
seperti Dewa Pengairan atau Dewa Bulan, namun banyak pula literatur
Barat yang lebih bersifat netral dan ilmiah seperti Ensyclopaedia
Britannica dan umumnya kamus-kamus teologia yang menyebut bahwa nama
‘Allah’ adalah nama dalam dialek/bahasa Arab untuk menunjuk pada ‘El’
Semitik, dan juga digunakan oleh orang Arab pra-Islam (terutama kaum
Hanif yang tetap mempertahankan Allah monotheisme Abraham) maupun bangsa
Arab yang menganut agama Yahudi dan Kristen:
“Karena Islam memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim, yakni agama fitrah,
maka jahiliyah dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam,
ibarat kegelapan sebelum terbit fajar. Pada zaman ini ajaran
monotheisme Ibrahim telah musnah berganti dengan sitem paganisme, dan
diwarnai dekadensi moral. Sejumlah berhala sesembahan didatangkan ke
Makkah dari berbagai negeri di Timur Tengah. Namun tidak semua warga
Arab pada saat itu menganut sistem keyakinan pagan, melainkan terdapat
beberapa suku Arab memeluk agama Kristen dan Yahudi. Bahkan terdapat
sejumlah pribadi yang menekuni dunia spiritual, mereka itu dinamakan
‘hunafa’ (tgl. hanif) yang mana mereka tidak memihak kepada satu di
antara kedua agama tersebut, melainkan mereka bertahan pada ajaran
monotheisme Ibrahim”. (Cyrill Glasse, Ensiklopedia Islam, h.190, dibawah
kata al-Jahiliah).
Kenyataan ini juga diperkuat dengan ditemukannya peninggalan arkeologis
beberapa abad sebelum masa Islam abad-VII (yang secara keliru disebut
dalam buku Morley bahwa Alkitab dalam bahasa Arab baru ada pada abad-IX
dan menggunakan nama Allah karena dipaksa orang Islam dan bandingkan
dengan buku-buku yang bertema ‘Asal bukan Allah’ yang menganggap orang
Islam tidak menyukai orang Kristen menggunakan nama ‘Allah’). Suatu
pengingkaran sejarah yang dihasilkan semangat Arab/Islam fobia, sebab
jauh sebelum ada agama Islam nama Allah sudah digunakan bersama-sama
oleh umat Yahudi Arab, Kristen Arab dan bangsa Arab pra-Islam.
Namun, kalau ‘El’ (Ibrani) sama dengan ‘Alaha’ (Aram-Siria) dan ‘Allah’
(Arab), mengapa tidak memilih saja ‘El/Elohim’ yang merupakan bahasa
aslinya?
Tuhan dalam menyebarkan firmannya menggunakan kendaraan bahasa-bahasa.
Pada zaman Ezra, Alkitab Ibrani sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Aram, dan sejak itu sampai abad ke-XIX bahasa Ibrani hanya digunakan
dalam penulisan/penyalinan Kitab Suci saja. Ketika bahasa Yunani
menguasai kawasan sekitar Laut Tengah, atas perintah imam besar di
Yerusalem, Eliezer, Alkitab PL diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke
bahasa Yunani (Septuaginta/LXX), inilah yang digunakan Yesus, para
Rasul, umat Kristen dan dipakai juga di sinagoga-sinagoga. Demikian juga
di hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri mengilhami para Rasul untuk
mengkotbahkan firman (termasuk nama El/Theos) ke bahasa-bahasa
pendengar, dalam arti kata penerjemahan nama Tuhan ke dalam
bahasa-bahasa lokal didorong oleh Roh Tuhan/Kudus sendiri.
Berbeda dengan ‘El’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai
‘Theos’ dan bahasa Barat sebagai ‘God, Gott, Dieu’, maka nama ‘Allah’
(Arab) sebenarnya bukan terjemahan melainkan perkembangan dialek dalam
rumpun Semit sendiri untuk menyebut El (di samping a.l. Alaha dalam
bahasa Aram-Siria).
Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-XIII, Kristen Katolik baru
masuk abad ke-XVI dan Protestan pada abad ke-XVII, ini berarti sudah
tiga abad lebih dimana agama Islam dan bahasa Arab sudah merakyat di
Indonesia, dan kemudian nama ‘Allah’ masuk menjadi kosa-kata bahasa
Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia,
ada banyak kosa-kata yang berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab
(1.495, termasuk kata ‘Allah’), Inggeris (1.610), dan Belanda (3.280),
maka adalah tepat bila kata yang sekarang menjadi kosa-kata Indonesia
itu dipakai untuk menyebut El/Elohim Perjanjian Lama dan Theos
Perjanjian Baru dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, karena kata
itu bukan saja dekat tetapi termasuk keluarga serumpun Semit dengan
bahasa Ibrani.
Salam kasih dari Herlianto/YBA.
kemudian bisa kita baca juga yang ini:
MENJAWAB HUJATAN PARA PENENTANG ALLAH DI DALAM ALKITAB
Baru-baru ini beberapa gereja-gereja dan segelintir umat Kristen
diresahkan dengan terbitnya “Alkitab Eliezer ben Abraham” berjudul Kitab
Suci Taurat dan Injil. Tidak kurang juga orang Kristen telah bingung
dengan gerakan ini. Gerakan ini menuntut agar istilah Allah dalam Kitab
Suci umat Kristian dihapuskan. Alasannya, nama Allah itu kononnya
berasal dari “dewa air” yang mengairi bumi.
Saya sendiri sudah pernah menanggapi usul kontroversial ini dengan
menggelar seminar yang menghadirkan pembicara Muslim dari IAIN Syarif
Hidayatullah, Dr. Kautsar Azhari Noer.(1) Rekan Muslim saya ini
menanggapi dengan kepala dingin, seraya mengatakan: “Itu hanya gerakan
kaum awam yang tidak perlu ditanggapi.: Mengapa? Menurut Kautsar,
“Setiap agama mengenal kontekstualisasi atau inkulturasi.” Ya, memang
dulu istilah Allah pernah dipakai di lingkungan orang-orang jahiliah
sebelum zaman Islam. Tetapi Islam justru datang untuk mengubah makna
teologis istilah itu.
SEKITAR PENYIMPANGAN NAMA YAHWEH DAN ALLAH
Setelah seminar tersebut, reaksi berdatangan dari pihak “penentang
Allah”. Bahkan terbit traktat baru yang khusus menanggapi makalah saya.
Saya sendiri memutuskan untuk menghentikan polemik ini. Terus terang,
amatlah sulit untuk sesiapa pun memahami “logika” kaum yang kurang
cerdas itu.
Bayangkan saja, menurut mereka Allah sebenarnya adalah nama “dewa air.”
Yang menjadi dasar mereka adalah buku-buku sumber yang mereka kutip
sepenggal-sepenggal dan lepas dari konteks. Saya pun membuktikan
berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud,
di sekitar Nablus sekarang. Di daerah tersebut nama Yahweh pernah dipuja
bersama-sama dewi kesuburan Asyera. Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet
Ajrud, seperti disebut Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One
God, One Lord; Christianity in a world of religious Pluralism, dalam
bahasa Ibrani:
Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah
Yakni – Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)
Dengan fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan
menggunakan nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan
Palestina? Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya
kemukakan itu tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab.
Ya, maksud mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi
dalam berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.
Nah, di sinilah terbukti ketidakadilan kaum penentang “Allah” dengan
amat jelas! Mengapa? Sebab umat Islam tentu saja boleh bertanya balik,
“Apakah Allah sebagai dewa air itu ada dalam Alquran?” Lalu, umat Islam
pun mengajak kita untuk berargumentasi dan berdebat tanpa bukti sejarah.
Cukup dengan ayat-ayat Al-Quran saja. Kalau begitu, jelas tidak ada
sepotong ayat pun dalam Alquran yang menyebut Allah sebagai dewa air.
Menurut Alquran, Allah adalah Pencipta langit dan bumi (Q.surah
al-Jatsiyah 45:22, “Wa khadaq Allah as-samawati wa al-ardh”).
Begitu juga, siapakah Allah itu bagi umat Kristen Arab? “Allah” –
demikian menurut Buthros ‘Abd al-Malik, dalam Qamus al-kitab al-Muqaddas
– adalah “nama dari Ilah (sembahan) yang menciptakan segala yang ada”
(hadza al-llah khalaq al-jami’ al-kainat). (3)
Begitu juga, setiap umat Arab Kristen sebelum atau sesudah Islam
mengawali mengucapkan Qanun al-Iman (syahadat Kristian) yang diawali
dengan kalimat:
“Nu’minu bi-ilahun wahidun, Allah al-Ab al-dhabital kull, khalaqa as-sama’I wa al-ardh, kulla ma yura wa maa layuura”
yang bermaksud :
Kami percaya kepada satu-satunya sembahan/ilah, yaitu Allah Bapa, yang
berkuasa atas segala sesuatu, Pencipta langit dan bumi, dan segala
sesuatu yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. (4)
Mengapa mreka menuduh bahwa Allah adalah “dewa air” berdasarkan
sumber-sumber tulisan yang bukan Alquran, sementara mereka menolak data
yang telah saya kemukakan tentang penyimpangan nama Yahwe, karena tidak
ada dalam Alkitab?
Oleh karena itu, saya menyarankan agar belajar lebih banyak tentang
sejarah kekristenan di Timur Tengah, tempat kekristenan mula-mulanya
berkembang. Peranan filologi (ilmu perbandingan bahasa) juga sangat
penting dalam memperkaya kajian ini, sebelum mereka begitu bersemangat
menyebarkan pendapat yang jelas-jelas tidak ilmiah.
KATA ALLAH DAN PADANANNYA DALAM BAHASA IBRANI DAN ARAMI
Dalam menilai kata Allah, kita harus memahami bahwa kata itu serumpun
dengan kata-kata bahasa Semitik yang lebih tua (yang dipakai di Timur
Tengah: Ibrani dan Arami). Kata Allah itu cognate dengan kata Ibrani:
El, Eloah, Elohim; dan kata Arami Elah, Alaha, yang semuanya terdapat
dalam Perjanjian Lama ataupun dalam Targum (komentar-komentar Taurat
dalam bahasa Arami yang lazim dibaca mulai dari zaman sebelum Al-Masih,
zaman Sayidina Isa hingga hari ini).
Perlu anda ketahui, sebagian kecil Kitab Perjanjian Lama juga ditulis
dalam bahasa Arami, yakni beberapa pasal Kitan Ezra dan juga beberapa
pasal dari Daniel. Marilah kita baca dan cermati ayat-ayat yang
menggunakan kata elah di bawah ini:
“Be Shum elah yisra’el …”
Daniel 5 : 1, “Demi Nama Allah Israel.”
“…di elahekon hu elah elahin, umara malekin
Daniel 2:47, “Sesungguhnya Elah-mu itu elah yang mengatasi segala elah dan berkuasa atas para raja.
Sedangkan bentuk Ibrani yang dekat dengan istilah Arami elah dan Arab
ilah, al-ilah dan Allah adalah sebutan eloah, misalnya disebutkan:
“Eloah mi-Teman yavo we Qadosh me-Har Paran, Selah”
Yaitu Habakuk 3 : 3, yang bererti -
“Eloah akan datang dari negeri Teman, dan Yang Mahakudus dari pergunungan Paran, Sela.”
Tetapi argumentasi ini pun segera ditanggapi dengan traktat mereka.
Menurut mereka, istilah el, elohim, eloah (Ibrani) dan elah, alaha
(Arami/Syriac) tidak sejajar dengan istilah Arab Allah berasal dari ilah
(God, sembahan). Dengan awalan kata sandang di depannya Al (Inggris:
the), makna the god, “sembahan yang itu”. Maksudnya sembahan atau ilah
yang benar.
“Laa ilaha ilallah”. Tidak ada ilah selain Allah. Allah adalah
satu-satunya ilah. Ungkapan Laa ilaha ilallah ini, dijumpai pula dalam
Alkitab terjemahan bahasa Arab, 1 Korintus 8 : 4-6 berbunyi :
“… wa’an Laa ilaha ilallah al-ahad, …faa lana ilahu wahidu wa huwa
al-Abu iladzi minhu kullu sya’in wa ilahi narji’u, wa huwa rabbu wahidu
wa huwa Yasu’ al-Masihu iladzi bihi kullu syai’in wa bihi nahya”
Yakni maksudnya :
Dan sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah, Yang Mahaesa … dan bagi
kita hanya ada satu ilah/sembahan yaitu Bapa, yang dari-Nya berasal
segala sesuatu dan kepada-Nya kita akan kembali, dan hanya ada satu
Rabb/Tuhan, yaitu Yesus Kristus yang melalui-Nya (sebagai Firman Allah)
telah diciptakan segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup). (5)
Mereka begitu entengnya menanggapi hal ini. Menurut brosur mereka,
istilah ‘Allah’ memang ada dalam Alkitab berbahasa Ibrani, tetapi
artinya “sumpah” (1 Raj. 8:31; II Taw. 6:22). Mereka benar, tetapi
mereka juga harus tahu, seperti kata Yahweh tidak turun dari langit.
Demikian pula kata elohim, eloah, elah berasal dari akar kata tertentu.
Menurut C.L. Schofield, istilah elah berasal dari akar kata el (Yang
Maha kuat) dan alah (sumpah):
“to swear, to bind oneself by an oath, so implifying faithfullness.” (6)
Jadi, di hadapan hadirat El (Yang Maha kuat) seseorang mengikat sumpah
(alah). Dari kata El dan alah ini, kemudian terbentuklah kata elah.
Sedangkan bentuk elohim, dengan akhiran im menunjukkan jamak untuk
menekankan kebesaran (pluralis maestaticus). Oleh para pujangga gereja
kata tersebut ditafsirkan secara alegoris sebagai bukti dari sifat
ketritunggalan Allah. Karena itu, sangat gegabah untuk menolak fakta
keserumpunan antara Arab dengan bahasa Ibrani dan Aram, hanya dengan
argumentasi dangkal seperti ini.
Kata alah (dengan satu “l”) memang ada dalam bahasa Ibrani yang berarti
“sumpah, kutuk”. Berbeda dengan bahasa Arab allah (dengan dua huruf
“L”). Dua huruf “l” (lam) yang dalam istilah Allah menunjukkan
asal-usulnya dari kata sandang Al (the) dan ilah (god) seperti
dikemukakan di atas. (7)
ISTILAH ALLAH DI LINGKUNGAN KRISTIAN SYRIA PRA-ISLAM
Seperti istilah Yahweh pernah dipuja secara salah di sekitar wilayah
Samaria, terbukti dari inskripsi Kuntilet Ajrud dan Khirbet el-Qom,
demikian juga istilah Allah disalahgunakan di sekitar Mekkah sebelum
zaman Islam. Tetapi istilah Allah dipakai sebagai sebutan bagi Khaliq
langit dan bumi oleh orang-orang Kristen Arab di wilayah Syria. Hal ini
dibuktikan dari sejumlah inskripsi Arab pra-Islam yang semuanya ternyata
berasal dari lingkungan Kristen.
Salah satu inskripsi kuno yang ditemukan pada tahun 1881 di kota Zabad,
sebelah tenggara kota Allepo (Arab: Halab), sebuah kota di Syria
sekarang, meneguhkan dalil tersebut. Inskripsi Zabad ini telah
dibuktikan tanggalnya berasal dari azman sebelum Islam, tepatnya tahun
512. Menariknya, inskripsi ini diawali dengan perkataan Bism-al-lah,
“Dengan Nama al-lah” (bentuk singkatnya: Bismillah, “Dengan Nama
Allah”), dan kemudian diusul dengan nama-nama orang Kristen Syria. Bunyi
lengkap inskripsi Arab Kristen ini dapat direkonstruksi sebagai
berikut:
“Bism’ al-lah: Serjius bar ‘Amad, Manaf wa Hani bar Mar al-Qais, Serjius bar Sa’d wa Sitr wa Sahuraih”
terjemahannya :
- Dengan Nama Allah: Sergius putra Amad, Manaf dan Hani putra Mat al-Qais, Sergius putra Sa’ad, Sitr dan Shauraih. (8)
Menurut Yasin Hamid al-Safadi, dalam The Islamic Calligraphy, inskripsi
pra-Islam lainya yang ditemukan di Ummul Jimal dari pertengahan abad
ke-6 Masehi, membuktikan bahwa berbeda dengan yang terjadi di Arab
selatan, di sekitar Syria nama ‘Allah’ disembah secara benar. Inskripsi
Ummul Jimmal diawali dengan kata-kata Allah ghafran (Allah mengampuni).
(9)
Bahkan menurut Spencer Trimingham, dalam bukunya Christianity among the
Arabs in the pre-Islamic Times, membuktikan bahwa pada tahun yang sama
dengan diadakannya Majma’ (Konsili) Efesus (431), di wilayah suku Arab
Hartis (Yunani: Aretas ) dipimpin seorang uskup yang bernama ‘Abd Allah
(Hamba Allah). (10)
Dari bukti-bukti arkeologis ini, jelas bahwa sebutan Allah sudah dipakai
di lingkungan Kristen sebelum zaman Islam yang dimaknai sebagai sebutan
bagi Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi.
PENGGUNAAN BAHASA IBRANI, YUNANI DAN ARAMI PADA ZAMAN YESUS
Cukup mengherankan bahwa “para penentang Allah” itu selalu menggunakan
Ha B’rit ha-Hadasah (Perjanjian Baru bahasa Ibrani) dan memperlakukannya
seolah-olah itulah teks bahasa aslinya. Dalam Perjanjian Baru berbahasa
Ibrani ini tentu saja kita akan menjumpai nama Yahwe. Tetapi Perjanjian
Baru berbahasa Ibrani itu adalah hasil terjemahan dari bahasa Yunani.
Penerjemahan dilakukan oleh United Bible Society in Israel, baru pada
tahun 1970-an.
Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa Yunani Koine dan para rasul
Yesus tidak mempertahankan nama diri Yahwe. Saya setuju bahwa Yesus
ketika masuk ke sinagoge, Baginda mengutip teks-teks Perjanjian Lama
dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-19). Namun, kita juga harus paham bahwa
Baginda juga telah bercakap-cakap dalam bahasa Arami dengan
murid-murid-Nya sebagai “bahasa ibunda” masyarakat Yahudi pada zaman
intu.
Penulisan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani karena bahasa ini menjadi
bahasa yang paling luas digunakan di seluruh wilayah kekaisaran Romawi
pada zaman itu. Meskipun demikian, Perjanjian Baru Yunani itu tidak
dapat dipahami tanpa melihat latar belakang budaya Arami. (11) Oleh
karena kitab ini masih memelihara beberapa ungkapan Arami – yang waktu
itu juga biasa disebut Ibrani – sebab dianggap sebagai salah satu dialek
tutur saja bagi masyrakat Yahudi di Galilea. Beberapa contoh kata Arami
yang dipelihara itu, antara lain: Talita Kum (Mark 5 : 41), Gabbata
(Yohanes 19 : 13), Maranatha (1 Korintus 16 : 23).
Salah satu bukti bahwa Yesus membaca Targum berbahasa Arami, di mana
kata Alaha (yang cognate dengan bentuk Ibrani: Eloah, dan Arab: Allah)
adalah ungkapan Yesus dalam Markus 15:33, Elohi, Elohi, l’mah
sh’vaktani. Sebab dalam teks Mazmur 22:2 bahasa Ibraninya: Eli, Eli
lamah ‘azvatani. Selanjutnya, apabila bahasa asli Perjanjian Baru
ditulis dalam bahasa Yunani dan para rasul tidak mempertahankan nama
Yahwe, lalu apa pula dasar dan alasan mereka mati-matian
mempertahankannya?
Para rasul penulis Perjanjian Baru menterjemahkan Kyrios (Tuhan) sebagai
kata ganti Yahwe. Sebut satu contoh saja, misalnya Haddebarim/ Ulangan 6
: 4 dalam bahasa asli (Ibrani):
“Syema Ysrael, Adonai Elohenu, Adonay Ehad”.
Kutipan ayat ini ditemukan dalam Markus 12 : 29, di mana nama Yahwe
diterjemahkan Kyrios – Tuhan, mengikut terjemahan Yunani Septuaginta:
“Akoue, Israel, Kurios ho theos hemin, kurios eis esti”
- Dengarlah wahai Israel, Kurios (Tuhan) itu Theos/Allah kita, Kurios/Tuhan itu Esa.
Jadi, sekali lagi Markus sang penulis Injil pun tidak mempertahankan
nama Yahwe. Lalu, apakah mereka berani berkata bahwa seluruh penulis
Perjanjian Baru itu adalah salah?
Dalam bahasa Ibrani istilah “Nama” juga tidak bisa dipahami secara
harfiah seperti nama-nama: Suharto, Suradi, Marsudi, Wan, Ngah dan
sebagainya. Dalam hal ini anda harus bedakan antara “nama” (yang berasal
dari bahasa manusia yang dibatasi oleh konteks ruang dan waktu) dengan
“Dia yang dinamakan” (Yang Absolute, tidak terbatas, tidak terhingga).
“Nama” dalam teologi Yahudi lebih menunjuk kepada “Kuasa di balik Ia
yang di-Nama-kan”. Karena itu, orang-orang Yahudi hanya mempertahankan
tetagramaton (keempat huruf suci: y h w h), tetapi tidak membacanya
dalam tradisi lisan. Kata itu sudah lazim dibaca dengan: Adonay
(Tuhanku) atau Ha-Shem (“the Name”, Sang Nama).
Silakan mereka memeriksa tradisi Yahudi ini, misalnya literatur Yahudi:
Humasah Hunasy Torah ‘im Targum Onqelos, (12) berbahasa Ibrani dan Arami
yang lazim dipakai pemeluk Yahudi hingga zaman sekarang ini.
Kesimpulan saya, apabila kita menolak usulan para “penentang Allah” itu,
bukan sekadar menimbang manfaat atau mudaratnya saja. Manfaatnya jelas
tidak ada sama sekali. Mudaratnya jelas tidak hanya membingungkan umat
Kristiani, tetapi telah membuka “barisan permusuhan” dengan umat Islam.
Yang lebih penting lagi, tidak ada gunanya berdialog dengan orang-orang
yang memang tidak memenuhi standard berpikir ilmiah itu. “Tetapi mereka
menghujat segala sesuatu yang tidak mereka ketahui,” demikian Yudas
1:10, dan lanjutan ayat ini saya tidak tega untuk menuliskannya di sini.
Nota-nota dan Referensi
Majalah DR, “Ketika Allah diperdebatkan”, 9-14 Ogos 1999.
Andrew D. Clarcke dan Bruce W.Winters (ed.), Satu Allah satu Tuhan:
Tinjauan Alkitab tentang Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995), hlm.50
Buthros ‘Abd al-Malik (ed.), Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Jami’ al-Kana’is fii al-Syarif al-Adniy, 1981), hlm.107
Al-Qamas Isodorus al-Baramus, Al-Ajabiyat: shalawat As-Sa’at wa Ruh
al-Tashra’at (Kairo: Maktabah Mar Jurjis al-Syaikulaniy Syabra, 1996),
hlm. 79.
“Risalat Bulus ar-Rasul ila Ahl Kurinthus al-Awwal 8 : 4-6″, dalam
al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Dar al-Kitab al-Muqaddas fii al-Syariq
al-Ausath, 1992).
Rev. C.I. Schofield (ed.), Holy Bible, Schofield Reference (London: Oxford University Press, 1945), hlm.3
Kita lihat bahwa Allah itu Al-nya merupakan hamzah washl. Kerana itu
menjadi wallahi, billahi dan sebagainya. Itu berarti kata Allah bukan
merupakan akar kata yang asli. Sebab akar kata yang asli pasti
menggunakan hamzah qath’. Lihat: Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan:
Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta:
Paramadina, 1998), hlm.262.
Bacaan Bism al-lah (Dengan Nama Allah) berasal dari Yasin Hamid
al-Safadi, Kaligrafi Islam. Alih Bahasa: Abdul Hadi WM (Jakarta: PT.
Panca Simpati, 1986), hlm. 6. Sedangkan M.A. Kugener, Note sur
l’inscription triligue de Zebed (1907) seperti dikutip Spencer
Trimingham Christianity Among the Arabs in pre Islamic Times
(London-Beirut: Longman-Librairie du Liban, 1979), hlm. 226, membacanya
“Teym al-Ilah”.
Jadi, sebagai nama diri yang diusul oleh nama-nama lainnya, bukan
sebagai bunyi sebuah doa. Tetapi apa pun bunyi yang paling tepat dari
awal inskripsi itu, yang jelas kata al-llah, Allah sudah dipakai dalam
makna Tauhid Kristen, dan bukan dalam makna dewa berhala yaitu pagan.
Yasin Hamid al-Safadi, Loc.Cit
Spencer Trimingham, Op. Cit. Hlm. 74
Matthew Black, An Aramaic Approach to the Gospels and Acts (Oxford: At the Calrendon Press, 1967).
Rabbi Nosson Scherman-Rabbi Meir Zlotowitz (ed.), Humasah Humasy Torah
‘im Targum Onqelos (Brooklyn: Mesorah Publications, Ltd. 1993),
hlm.xxvi. Selanjutnya, mengenai Nama (dan nama-nama) Allah, cf.
“Parashas Shemos”, hlm.304-305.
point yang penting dari penjelasan tersebut
1. Tuhan yang disembah orang Islam sama dengan yang di sembah para nabi dan pengikutnya ,sebelum kenabian nabi Muhammad
2. bahwa Nama YHWH pernah disimpangkan,
seperti yang tertulis:
“Saya pun membuktikan berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang
ditemukan di Kuntilet Ajrud, di sekitar Nablus sekarang. Di daerah
tersebut nama Yahweh pernah dipuja bersama-sama dewi kesuburan Asyera.
Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet Ajrud, seperti disebut Andrew D.
Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One God, One Lord; Christianity in a
world of religious Pluralism, dalam bahasa Ibrani:
Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah
Yakni – Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)
Dengan fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan
menggunakan nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan
Palestina? Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya
kemukakan itu tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab.
Ya, maksud mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi
dalam berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.”
kemudian dari penjelasan intelektual yang sebelumnya adalah intelektual Kristen,yaitu Jerald f dirk
Penggunaan kata Allah yang berarti Tuhan sering kali terdengar agak
aneh, esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata
dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti
Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan
bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa Semitik, dan istilah Arab Allah
atau al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti
Tuhan.1 El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau Sang Tuhan.2 Ia
adalah kata bahasa Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan
Tuhan. Karena itu, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah
konsisten, bukan hanya dengan Al-Qur’an dan tradisi Islam, tetapi juga
dengan tradisi-tradisi-biblikal yang tertua.
Persamaan mendasar antara istilah Arab al-Ilah, di mana Allah merupakan
pemadatannya, dan istilah Ibrani El-Elohim bisa dipahami secara lebih
jelas jika kita memerhatikan abjad bahasa Arab dan Ibrani. Baik bahasa
Arab maupun Ibrani sama-sama tidak memiliki huruf untuk bunyi vokal.
Abjad kedua bahasa tersebut hanya terdiri dari konsonan, dan keduanya
bersandar pada penandaan sebagai bunyi vokal yang secara khas ditemukan
hanya dalam tulisan formal sebagai satu petunjuk pengucapan.
Transliterasi bahasa Indonesia dari istilah Arab al-Ilah dan istilah
Ibrani El-Elohim telah memasukkan penandaan-penandaan vokal ini. Jika
kita harus menghilangkan transliterasi Indonesia berupa
penandaan-penandaan vokal ini, maka istilah Arab tersebut menjadi al-Ilh
dan istilah Ibrani di atas menjadi El-Elhm. Jika kita harus
menghilangkan bentuk jamak, yang hanya ditemukan dalam bahasa Ibrani,
maka istilah Arabnya tetap al-Ilh, sementara istilah Ibraninya menjadi
El-Elh. Akhirnya, jika kita harus melakukan transliterasi atas seluruh
“alif” dalam bahasa Arab sebagai “a”, dan seluruh “alif” dalam bahasa
Ibrani sebagai “a” juga, maka istilah Arabnya menjadi Al-Alh, dan
istilah Ibraninyapun menjadi Al-Alh. Dengan kata lain, dengan
pengecualian tunggal bahwa bahasa Ibrani menggunakan bentuk jamak,
al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan El-Elohim, istilah
Ibrani yang diterjemahkan sebagai Tuhan dalam Perjanjian Lama,
benar-benar merupakan istilah yang sama sekali identik dalam bahasa Arab
dan Ibrani, dua bahasa yang memiliki hubungan sangat erat.
kemudian dari kalangan “ulama islam”
soal keunikan nama Allah, saya akan menyampaikan dari sumber tulisan orang/ulama Islam.
Kata ‘Allah’ merupakan nama Tuhan yang paling populer. Apabila anda
berkata :”Allah..”, maka apa yang anda ucapkan itu telah mencakup semua
nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila anda mengucapkan nama-nama-Nya
yang lain – misalnya ‘ar-Rahmaan’, ‘al-Malik’ dan sebagainya – maka ia
hanya menggambarkan sifat Rahman, atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi
lain, tidak satupun dapat dinamakan Allah, baik secara hakikat maupun
secara majazi, sedangkan sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum – dapat
dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Bukankah kita dapat
menamakan si Ali yang pengasih sebagai ‘Rahiim’?, atau Ahmad yang
berpengetahuan sebagai ‘Aliim’?. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu
sendiri yang menamakan dirinya Allah.
14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
(Thaahaa). Innanii = sesungguhnya Aku, anaa = Aku, Allaahu = Allah, laa
ilaaha = tidak ada tuhan, illaa = melainkan, ana = Aku…
Dia juga dalam Al-Qur’an yang bertanya :”hal ta’lamu lahuu samiyyaa..”
(Surat Maryam ayat 19). Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar Al-Qur’an
bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti
nama ini..?” atau :”Apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak
memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu
(Allah)?” atau bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih
agung dari nama ini?”, juga dapat berarti :”Apakah kamu mengetahui ada
sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”
Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini kesemuanya
benar, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang
berhak menyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak
boleh. Hanya Dia yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan
mutlak, sebagaimana tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya itu.
Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain
apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang
berpendapat bahwa kata ‘Allah’ tidak terambil dari satu akar kata
tertentu, tapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib
wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya
kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi
banyak ulama berpendapat, bahwa kata ‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’,
yang dibubuhi huruf ‘Alif’ dan ‘Laam’ dan dengan demikian, ‘Allah’
merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya.
Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat
berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah’. Dalam Bahasa Inggeris, baik
yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan dengan ‘god’,
demikian juga dalam Bahasa Indonesia keduanya dapat diterjemahkan dengan
‘tuhan’, tapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis
dengan huruf kecil ‘god/tuhan’, dan yang bermakna khusus ditulis dengan
huruf besar ‘God/Tuhan’.
‘Alif’ dan ‘Laam’ yang dibubuhkan pada kata ‘Ilaah’ berfungsi
menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi tersebut merupakan sesuatu yang
telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut sama dengan ‘The’ dalam
bahasa Inggeris. Kedua huruf tambahan itu menjadi kata yang dibubuhi
menjadi ‘ma’rifat’ atau ‘definite’ (diketahui/dikenal). Pengguna Bahasa
Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan
Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (aliihah/bentuk jamak dari ilaah)
yang lain. Selanjutnya dalam perkembangannya lebih jauh dan dengan
alasan mempermudah, ‘hamzah’ yang berada antara dua ‘laam’ yang dibaca
‘i’ pada kata ‘al-Ilaah’ tidak dibaca lagi, sehingga berbunyi ‘Allah’
dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang
tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata ‘Allah’ menjadi
nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.
Sementara ulama berpendapat bahwa kata ‘Ilaah’ yang darinya terbentuk
kata ‘Allah’ berakar dari kata ‘al-Ilaahah’, ‘al-Uluuhah’ dan
‘al-Uluuhiyyah’ yang kesemuanya menurut mereka bermakna
‘ibadah/penyembahan’, sehingga ‘Allah’ secara harfiah bermakna ‘Yang
Disembah’. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari
kata ‘Alaha’ dalam arti ‘mengherankan’ atau ‘menakjubkan’ karena segala
perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya
akan mengherankan akibat ketidak-tahuan makhluk tentang hakekat zat Yang
Maha Agung itu. Apapun yang terlintas dalam benak menyangkut hakekat
zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat
yang menyatakan :”Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan
berpikir tentangZat-Nya”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’
terambil dari akar kata ‘Aliiha Ya’lahuu” yang berarti ‘tenang’, karena
hati menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti ‘menuju’ dan ‘bermohon’
karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua
makhluk bermohon.
Memang setiap yang dipertuhankan pasti disembah dan kepadanya tertuju
harapan dan permohonan lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu
berarti bahwa kata ‘Ilaah’ – dan juga ‘Allah’ – secara harfiah bermakna
demikian..? , dapat dipertanyakan apakah bahasa atau Al-Qur’an yang
menggunakannya untuk makna ‘yang disembah’?. Kalau anda menemukan semua
kata ‘Ilaah’ dalam Al-Qur’an, niscaya akan anda temukan bahwa kata itu
lebih dekat untuk dipahami sebagai penguasa, pengatur alam raya atau
dalam genggaman-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini
demikian, ada yang salah pilih ‘ilaah’nya.
Kata ‘Allah’ mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata
selainnya, ia adalah kata-kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna
maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya,
sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai
‘Ismu-Ilaah al-A’zham (Nama Allah yang paling mulia). Yang bila
diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz
terlihat keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata
‘Allah’ dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ‘Lilaah’ dalam
arti ‘milik/bagi Allah’, kemudian hapus huruf awal dari kata ‘Lilaah’,
itu akan terbaca ‘Laahu’ dalam arti ‘bagi-Nya’, selanjutnya, hapus lagi
huruf awal dari ‘Laahu’, akan terdengan dalam ucapan ‘Huu’, yang berarti
‘Dia (menunjuk Allah), dan apabila itupun dipersingkat akan terdengar
suara ‘Ah’ yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan,
tapi pada hakekatnya mengandung makna permohonan kepada Allah. Karena
itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia,
sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu
bukti adanya ‘fitrah’ dalam diri manusia. Al-Qur’an juga menegaskan
bahwa sikap orang-orang musyrik adalah :
38. Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. (Az
Zumar)
dari segi makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala
sifat-sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut,
karena itu jika anda berkata “Yaa..Allah..”, maka semua
nama-nama/sifat-sifat-Nya telah tercakup oleh kata tersebut. Disisi
lain, jika anda berkata ‘ar-Rahiim’, maka sesungguhnya yang anda maksud
adalah Allah. Demikian juga ketika anda menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang
membalas kesalahan), namun kandungan makna ‘ar-Rahiim’ (Yang Maha
Pengasih) tidak tercakup didalam pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya
yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang
selalu harus menggunakan kata ‘Allah’ ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Laa
Ilaaha Illa-llaah’ dan tidak dibenarkan menggantinya dengan
nama-nama-Nya yang lain.
Demikianlah Allah, karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak
ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman agar
memperbanyak zikir menyebut nama Allah, karena itu setiap perbuatan yang
penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama itu, nama Allah.
Rasulullah bahkan mengajarkan lebih rinci lagi :”Tutuplah pintumu dan
sebutlah nama Allah, padamkanlah lampumu dan sebutlah nama Allah,
tutuplah periukmu dan sebutlan nama Allah, rapatkanlah kendi airmu dan
sebutlah nama Allah…”
Menurut orang-orang “Kristen Radikal” informasi dari Robert morrey
sangatlah bermanfaat untuk menyerang “ketuhanan islam”,seperti
mendapatkan sebuah amunisi.
tetapi orang-orang yang begitu bersemangat untuk memberikan tuduhan
seperti itu tidak berfikir panjang,bahwa faktanya didalam Al kitab
banyak sekali menggunakan “istilah Allah”
maka ada sebagian orang-orang Kristen yang meyakini bahwa nama Allah
sebagai nama “dewa bulan” , dan melihat realita didalam al kitab
menggunakan istilah Allah maka mereka melakukan perubahan / penggantian
nama Allah diganti dengan nama YHWH.
maka persoalan ini saya akan menyampaikan pandangan/tanggapan /
penjelasan nama Allah dari berbagai sudut “Intelektual” baik yang masih
Kristen ataupun dari Intelektual Islam.
pertama dari orang Kristen:
Banyak pertanyaan diajukan mengenai ‘Apakah Allah Islam sama dengan
Allah Kristen?’ dan argumentasi yang banyak dikemukakan adalah bahwa
‘Allah Islam tidak sama dengan Allah Kristen’ alasannya ‘Karena ajaran
keduanya berbeda!’. Pandangan ini tercermin dalam buku Dr. Robert Morey
yang beredar bahkan dianut belakangan ini di kalangan tertentu di
Indonesia:
“Islam claims that Allah is the same God who was revealed in the Bible.
This logically implies in the positive sense that the concept of God set
forth in the Quran will correspond in all points to the concept of God
found in the Bible. This also implies in the negative sense that if the
Bible and the Quran have differing views of God, then Islam’s claim is
false.” (Islamic Invasion, Harvest House Publishers, 1992, h.57).
Definisi Morley ini memiliki kelemahan dasar berfikir yang fatal yang
menganggap masalah-masalah teologi (ilmu sosial) bersifat eksakta dan
mencampur adukkan pengertian soal ‘identitas’ dan ‘opini’ (meta basis).
Dari dasar berfikir atau asumsi ini, maka dihasilkan kesimpulan bahwa
(1) Bila Allah Islam adalah Tuhan Kristen, maka secara positif konsep
keduanya mengenai Tuhan harusnya sama dalam setiap butirnya, sebaliknya
secara negatif disebut bahwa (2) Bila Al-Quran dan Alkitab memiliki
pandangan berbeda mengenai Tuhan, maka klaim Islam adalah salah.
Pandangan yang terlalu sederhana ini dengan mudah bisa digugurkan bila
kita mengambil contoh soal ‘Suharto’ mantan presiden ORBA. Menurut
definisi Morley, bila Suharto yang dimaksudkan oleh para pengikut ORBA
sama dengan Suharto yang di demo mahasiswa, maka konsep keduanya
mengenai Suharto akan sama dalam setiap butirnya. Faktanya sekalipun
Suhartonya sama konsep keduanya berbeda. Bagi para pengikut ORBA,
Suharto adalah bapak pembangunan yang membawa kesejahteraan dan
mendatangkan kesatuan dan keamanan regional, padahal Suharto yang sama
itu oleh para mahasiswa dianggap sebagai bapak pembangkrutan yang
membawa kemiskinan karena KKN dan tiran yang membawa bangsa Indonesia
kepada disintegrasi bangsa.
Mengapa berbeda? Dan kalau berbeda apakah klaim mahasiswa mengenai
Suharto salah? Di sini kita berhubungan dengan dua soal yang tidak bisa
dicampur adukkan satu dengan lainnya, yaitu bahwa Suharto sebagai
pribadi (oknum) dengan namanya dan konsep orang (ajaran atau aqidah)
mengenai oknum yang sama itu.
Soal yang sama terjadi dalam hubungan dengan pertanyaan mengenai apakah
‘Allah Islam sama dengan Tuhan Kristen?’. Jawabannya perlu kita lihat
dari Kitab Suci Islam (Al-Quran) maupun Kristen (Al-Kitab), dan juga
sejarah bangsa dan bahasa Semit.
EL SEMIT
Faktanya, bila kita membandingkan agama Yahudi (Alkitab Perjanjian
Lama), Kristen (Alkitab Perjanjian Lama dan Baru), dan Islam (Al-Quran),
kita dapat melihat bahwa ada butir-butir yang sama, namun banyak
butir-butir lainnya yang tidak sama (jadi bukan semua sama atau semua
tidak sama).
Bila kita melihat Alkitab PL, kita dapat mengetahui bahwa nama Tuhan
‘El/Elohim’ adalah pencipta langit dan bumi, manusia dan segala isinya.
Dan ia juga Tuhan yang menyatakan dirinya kepada Adam, Nuh, Abraham,
Ishak, dan Yakub. Agama Yahudi, Kristen dan Islam mempercayai itu semua,
namun mereka berbeda dalam kepercayaan akan wahyu mana yang dari El
yang sama itu yang dipercayai. Agama Yahudi mempercayai wahyu yang
dibukukan menjadi Alkitab Perjanjian Lama, namun sekalipun agama Kristen
menerima hal ini, agama Kristen juga mengakui penggenapan dalam Tuhan
Yesus Kristus yang wahyunya dibukukan dalam Perjanjian Baru padahal
Yahudi menolak.
“Katakanlah: Kami telah beriman kepada Allah dan (kitab) yang diturunkan
kepada kami dan apa-apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq,
Y’qub dan anak-anaknya, (begitu juga kepada kitab) yang diturunkan
kepada Musa dan ‘Isa, dan apa-apa yang diturunkan kepada nabi-nabi dari
Tuhan mereka, tiadalah kami perbedakan seorang juga di antara mereka itu
dan kami patuh kepada Allah” (Al-Quran, Al-Baqarah, 2:136, Mahmud
Yunus, Tafsir Quran Karim).
Agama Islam, sekalipun menerima kitab yang diterima Ibrahim, Ishak,
Yakub dan Isa, namun lebih menerima kitab wahyu yang diterima Muhammad
dari jalur Ismael, dan menerima kitab-kitab Ibrahim, Ishak, Yakub dan
Isa sejauh diterima oleh Muhammad yang dipercayai sebagai nabi, dan
sekalipun menerima kitab-kitab Yahudi dan Kristen, namun karena dianggap
telah dipalsukan, maka kepercayaan kepada berita Al-Kitab terbatas
hanya bila hal itu dikuatkan dalam Al-Quran.
Jadi, dari terang Alkitab (PL+PB) dan Al-Quran jelas terlihat bahwa
sebagai oknum dengan namanya, Allah Islam adalah Tuhan Yahudi dan
Kristen. Namun karena wahyu yang dipercayai berbeda, dengan sendirinya
banyak pengajaran (aqidah)nya yang berbeda.
Agama Yahudi, kepercayaannya hanya bergantung kepada Perjanjian Lama,
akibatnya mereka memandang Tuhan ‘El’ (yang sejak Musa diberi nama juga
sebagai ‘Yahweh’ (Kel.6:1-2)) sebagai Tuhan monotheisme yang transenden
dengan hukum Taurat sebagai pedoman, namun agama Kristen berbeda dan
menerima kenyataan bahwa El Abraham itu juga telah menyatakan diri dalam
oknum Yesus dalam ke-Tritunggalannya, dan hukum kasih/Injil menjadi
pedomannya.
Islam mengikuti jalur Abraham mempercayai Tuhan ‘El’ itu yang dalam
dialek Arab disebut ‘Allah’ (dari al-ilah). Dalam bahasa Ibrani kata
sandang ‘the’ (‘al’ dalam dialek Arab dan ‘ha’ dalam dialek Aram-Siria
namun diletakkan di belakang menjadi ‘alaha’) tidak digunakan bila
menyebut Tuhan.
Dari sejarah kita mengetahui bahwa sejak awalnya ‘El’ bisa memiliki arti
umum sebagai sebutan untuk ‘Tuhan/Ketuhanan’ dan ‘Elohim’ sering
digunakan dalam arti kata jamak (politheistik) dan dipakai oleh
suku-suku keturunan Sem (menjadi rumpun Semit) dan karena perkembangan
zaman sering merosot sehingga dimengerti dalam berbagai-bagai ajaran
aqidah, namun ‘El/Il’ juga digunakan untuk menyebut ‘nama diri’ Tuhan.
“‘Ilu, El’ sebagai sebutan untuk ketuhanan. Istilah ‘il mempunyai arti
sebutan umum (generic appelative) untuk menunjuk pada ‘tuhan’ atau
‘ketuhanan’ pada tahap awal semua cabang utama rumpun bahasa Semit. Ini
terlihat jelas di Semit Timur, Akadian kuno (ilu) dan dialek-dialek
sesaudara dimulai zaman pra-Sargon (sebelum 2360 BC) dan berlanjut
sampai akhir masa Babil. Penggunaan sebagai sebutan juga muncul di Semit
Barat Laut, di Amrit (‘ilu, ‘ilum, ‘ila), di Ugarit, di Ibrani, dan
umum di dialek-dialek Arab Selatan kuno, di Arab Utara digantikan dengan
nama ‘ilah. ‘Ilu, El juga digunakan sebagai Nama Diri (proper name). …
Di Semit Timur ada bukti kuno yang menunjukkan bahwa ‘Il’ adalah nama
diri tuhan … tuhan Il (kemudian El Semit) adalah kepala ketuhanan pada
rumpun Semit Mesopotamia pada masa Pra-Sargon.” (G. Johanes Botterwech,
Theological Dictionary of the Old Testament, Vol.I, 242-244).
Dari sejarah ini kita dapat melihat bahwa ‘Allah’ di kalangan bangsa dan
bahasa Arab tidak lain menunjuk pada ‘El’ Semit’ yang sama, ini
dijelaskan dalam buku-buku teologi Kristen maupun Ensiklopedia Islam
bahwa setidaknya bangsa Arab mewarisi tiga jalur nenek moyang yang
semuanya mengenal ‘El Abraham’ yaitu sebagai keturunan Sem, Yoktan
(keturunan Eber), dan Adnan (keturunan Ismael anak Abraham).
Bahwa ajaran/konsep mengenai ‘Allah’ (El) itu kemudian merosot dan makin
tidak mendekati hakekat yang di’nama’kan dan ditujukan kepada pribadi
lain seperti yang terjadi pada jalur Ishak (Kel.32, Anak Lembu Emas
disebut ‘Elohim’ dan ‘Yahweh’) maupun jalur Ismael (masa jahiliah, dewa
berhala disebut ‘Allah’), tentu tidak mengurangi hakekat nama itu
sendiri sebagai menunjuk kepada ‘El’ semitik dan monotheisme Abraham.
Namun, sekalipun diyakini bahwa ‘Allah’ Yahudi, Kristen dan Islam sama,
tentu tidak disimpulkan bahwa Tuhan Semua Agama sama. Dalam pengertian
‘Universalisme’ (pluralisme agama) disebutkan bahwa semua agama itu
menyembah Tuhan yang sama (universal) namun melalui jalan-jalan yang
berbeda (partikular).
Kita harus menyadari bahwa setidaknya ada 4 golongan agama, yaitu (1)
‘Theisme’ – Tuhan yang berpribadi (Yahudi, Kristen, Islam), (2)
‘Monisme’ – Tuhan kekuatan semesta (Hindu-Upanishad, Tao dan Kebatinan),
(3) Non-Theis – Tuhan yang ‘non-exist’ (Buddhisme), dan (4) Demonisme –
Tuhan Okultis (satanisme). Bisa juga dimasukkan ‘politheisme’
(Hindu-Veda) sebagai golongan ke-5.
Sudah jelas ke-empat (atau ke-lima) bentuk Tuhan itu tidak sama, namun
harus diakui bahwa Tuhan ‘Theisme’ (Yahudi, Kristen, Islam) adalah Tuhan
Semitik agama samawi yang berpribadi, berfirman dan menurunkan wahyu
kepada umatnya, jadi sekalipun kita menyebut Tuhan Theisme Yahudi,
Kristen dan Islam menunjuk pada oknum yang sama namun sekalipun ada yang
sama juga ada yang berbeda ajaran/aqidahnya, sedang Tuhan Theisme,
Monisme, Non-Theisme, dan Demonisme jelas berbeda baik sebagai nama
oknum maupun ajaran/aqidahnya.
Tetapi bagaimana dengan definisi yang dicantumkan dalam kamus-kamus
dalam bahasa Inggeris? Disana disebutkan bahwa “Allah … Muslim’s name
for God” (a.l. Oxford Dictionary & Grollier Ensyclopedia). Kita
dapat membandingkan hal ini dengan definisi yang disebutkan dalam
Enyclopaedia Britannica, yang sekalipun mengakui ke-khasan nama Allah
dalam penggunaannya di kalangan agama Islam sebagai salah satu artinya,
dalam arti yang lain jelas memberikan pengertian yang lebih ilmiah dan
lebih mengandung kebenaran:
“Allah (Arabic:”God”), the one and only God in the religion of Islam.
Etymologically, the name Allah is probably a contraction of the Arabic
al-Ilah, “the God.” The name’s origin can be traced back to the earliest
Semitic writings in which the word for god was Il or El, the latter
being an Old Testament synonim for Yahweh. Allah is the standard Arabic
word for “God” and is used by Arab Christians as well as by Muslims.”
Definisi yang benar ini juga disebutkan dalam Ensiklopedi Nasional
Indonesia dimana disebutkan bahwa: “ALLAH adalah Tuhan, pencipta alam
raya termasuk segala isinya”. (Vol.I, h.270).
Memang dalam literatur Barat termasuk dalam beberapa kamus, ada sentimen
kuat anti Arab/Islam sehingga sering timbul ungkapan-ungkapan
memojokkan yang tidak ilmiah seperti ucapan Morley di atas yang memberi
stigmata seakan-akan nama ‘Allah’ itu nama dewa/i masa jahiliah Arab
seperti Dewa Pengairan atau Dewa Bulan, namun banyak pula literatur
Barat yang lebih bersifat netral dan ilmiah seperti Ensyclopaedia
Britannica dan umumnya kamus-kamus teologia yang menyebut bahwa nama
‘Allah’ adalah nama dalam dialek/bahasa Arab untuk menunjuk pada ‘El’
Semitik, dan juga digunakan oleh orang Arab pra-Islam (terutama kaum
Hanif yang tetap mempertahankan Allah monotheisme Abraham) maupun bangsa
Arab yang menganut agama Yahudi dan Kristen:
“Karena Islam memperbaiki agama yang dibawa Ibrahim, yakni agama fitrah,
maka jahiliyah dipandang sebagai sebuah zaman sebelum kedatangan Islam,
ibarat kegelapan sebelum terbit fajar. Pada zaman ini ajaran
monotheisme Ibrahim telah musnah berganti dengan sitem paganisme, dan
diwarnai dekadensi moral. Sejumlah berhala sesembahan didatangkan ke
Makkah dari berbagai negeri di Timur Tengah. Namun tidak semua warga
Arab pada saat itu menganut sistem keyakinan pagan, melainkan terdapat
beberapa suku Arab memeluk agama Kristen dan Yahudi. Bahkan terdapat
sejumlah pribadi yang menekuni dunia spiritual, mereka itu dinamakan
‘hunafa’ (tgl. hanif) yang mana mereka tidak memihak kepada satu di
antara kedua agama tersebut, melainkan mereka bertahan pada ajaran
monotheisme Ibrahim”. (Cyrill Glasse, Ensiklopedia Islam, h.190, dibawah
kata al-Jahiliah).
Kenyataan ini juga diperkuat dengan ditemukannya peninggalan arkeologis
beberapa abad sebelum masa Islam abad-VII (yang secara keliru disebut
dalam buku Morley bahwa Alkitab dalam bahasa Arab baru ada pada abad-IX
dan menggunakan nama Allah karena dipaksa orang Islam dan bandingkan
dengan buku-buku yang bertema ‘Asal bukan Allah’ yang menganggap orang
Islam tidak menyukai orang Kristen menggunakan nama ‘Allah’). Suatu
pengingkaran sejarah yang dihasilkan semangat Arab/Islam fobia, sebab
jauh sebelum ada agama Islam nama Allah sudah digunakan bersama-sama
oleh umat Yahudi Arab, Kristen Arab dan bangsa Arab pra-Islam.
Namun, kalau ‘El’ (Ibrani) sama dengan ‘Alaha’ (Aram-Siria) dan ‘Allah’
(Arab), mengapa tidak memilih saja ‘El/Elohim’ yang merupakan bahasa
aslinya?
Tuhan dalam menyebarkan firmannya menggunakan kendaraan bahasa-bahasa.
Pada zaman Ezra, Alkitab Ibrani sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Aram, dan sejak itu sampai abad ke-XIX bahasa Ibrani hanya digunakan
dalam penulisan/penyalinan Kitab Suci saja. Ketika bahasa Yunani
menguasai kawasan sekitar Laut Tengah, atas perintah imam besar di
Yerusalem, Eliezer, Alkitab PL diterjemahkan dari bahasa Ibrani ke
bahasa Yunani (Septuaginta/LXX), inilah yang digunakan Yesus, para
Rasul, umat Kristen dan dipakai juga di sinagoga-sinagoga. Demikian juga
di hari Pentakosta, Roh Kudus sendiri mengilhami para Rasul untuk
mengkotbahkan firman (termasuk nama El/Theos) ke bahasa-bahasa
pendengar, dalam arti kata penerjemahan nama Tuhan ke dalam
bahasa-bahasa lokal didorong oleh Roh Tuhan/Kudus sendiri.
Berbeda dengan ‘El’ yang diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani sebagai
‘Theos’ dan bahasa Barat sebagai ‘God, Gott, Dieu’, maka nama ‘Allah’
(Arab) sebenarnya bukan terjemahan melainkan perkembangan dialek dalam
rumpun Semit sendiri untuk menyebut El (di samping a.l. Alaha dalam
bahasa Aram-Siria).
Islam sudah masuk ke Indonesia sejak abad ke-XIII, Kristen Katolik baru
masuk abad ke-XVI dan Protestan pada abad ke-XVII, ini berarti sudah
tiga abad lebih dimana agama Islam dan bahasa Arab sudah merakyat di
Indonesia, dan kemudian nama ‘Allah’ masuk menjadi kosa-kata bahasa
Indonesia. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia,
ada banyak kosa-kata yang berasal dari bahasa asing, yaitu bahasa Arab
(1.495, termasuk kata ‘Allah’), Inggeris (1.610), dan Belanda (3.280),
maka adalah tepat bila kata yang sekarang menjadi kosa-kata Indonesia
itu dipakai untuk menyebut El/Elohim Perjanjian Lama dan Theos
Perjanjian Baru dalam Alkitab terjemahan bahasa Indonesia, karena kata
itu bukan saja dekat tetapi termasuk keluarga serumpun Semit dengan
bahasa Ibrani.
Salam kasih dari Herlianto/YBA.
kemudian bisa kita baca juga yang ini:
MENJAWAB HUJATAN PARA PENENTANG ALLAH DI DALAM ALKITAB
Baru-baru ini beberapa gereja-gereja dan segelintir umat Kristen
diresahkan dengan terbitnya “Alkitab Eliezer ben Abraham” berjudul Kitab
Suci Taurat dan Injil. Tidak kurang juga orang Kristen telah bingung
dengan gerakan ini. Gerakan ini menuntut agar istilah Allah dalam Kitab
Suci umat Kristian dihapuskan. Alasannya, nama Allah itu kononnya
berasal dari “dewa air” yang mengairi bumi.
Saya sendiri sudah pernah menanggapi usul kontroversial ini dengan
menggelar seminar yang menghadirkan pembicara Muslim dari IAIN Syarif
Hidayatullah, Dr. Kautsar Azhari Noer.(1) Rekan Muslim saya ini
menanggapi dengan kepala dingin, seraya mengatakan: “Itu hanya gerakan
kaum awam yang tidak perlu ditanggapi.: Mengapa? Menurut Kautsar,
“Setiap agama mengenal kontekstualisasi atau inkulturasi.” Ya, memang
dulu istilah Allah pernah dipakai di lingkungan orang-orang jahiliah
sebelum zaman Islam. Tetapi Islam justru datang untuk mengubah makna
teologis istilah itu.
SEKITAR PENYIMPANGAN NAMA YAHWEH DAN ALLAH
Setelah seminar tersebut, reaksi berdatangan dari pihak “penentang
Allah”. Bahkan terbit traktat baru yang khusus menanggapi makalah saya.
Saya sendiri memutuskan untuk menghentikan polemik ini. Terus terang,
amatlah sulit untuk sesiapa pun memahami “logika” kaum yang kurang
cerdas itu.
Bayangkan saja, menurut mereka Allah sebenarnya adalah nama “dewa air.”
Yang menjadi dasar mereka adalah buku-buku sumber yang mereka kutip
sepenggal-sepenggal dan lepas dari konteks. Saya pun membuktikan
berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang ditemukan di Kuntilet Ajrud,
di sekitar Nablus sekarang. Di daerah tersebut nama Yahweh pernah dipuja
bersama-sama dewi kesuburan Asyera. Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet
Ajrud, seperti disebut Andrew D. Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One
God, One Lord; Christianity in a world of religious Pluralism, dalam
bahasa Ibrani:
Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah
Yakni – Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)
Dengan fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan
menggunakan nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan
Palestina? Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya
kemukakan itu tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab.
Ya, maksud mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi
dalam berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.
Nah, di sinilah terbukti ketidakadilan kaum penentang “Allah” dengan
amat jelas! Mengapa? Sebab umat Islam tentu saja boleh bertanya balik,
“Apakah Allah sebagai dewa air itu ada dalam Alquran?” Lalu, umat Islam
pun mengajak kita untuk berargumentasi dan berdebat tanpa bukti sejarah.
Cukup dengan ayat-ayat Al-Quran saja. Kalau begitu, jelas tidak ada
sepotong ayat pun dalam Alquran yang menyebut Allah sebagai dewa air.
Menurut Alquran, Allah adalah Pencipta langit dan bumi (Q.surah
al-Jatsiyah 45:22, “Wa khadaq Allah as-samawati wa al-ardh”).
Begitu juga, siapakah Allah itu bagi umat Kristen Arab? “Allah” –
demikian menurut Buthros ‘Abd al-Malik, dalam Qamus al-kitab al-Muqaddas
– adalah “nama dari Ilah (sembahan) yang menciptakan segala yang ada”
(hadza al-llah khalaq al-jami’ al-kainat). (3)
Begitu juga, setiap umat Arab Kristen sebelum atau sesudah Islam
mengawali mengucapkan Qanun al-Iman (syahadat Kristian) yang diawali
dengan kalimat:
“Nu’minu bi-ilahun wahidun, Allah al-Ab al-dhabital kull, khalaqa as-sama’I wa al-ardh, kulla ma yura wa maa layuura”
yang bermaksud :
Kami percaya kepada satu-satunya sembahan/ilah, yaitu Allah Bapa, yang
berkuasa atas segala sesuatu, Pencipta langit dan bumi, dan segala
sesuatu yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. (4)
Mengapa mreka menuduh bahwa Allah adalah “dewa air” berdasarkan
sumber-sumber tulisan yang bukan Alquran, sementara mereka menolak data
yang telah saya kemukakan tentang penyimpangan nama Yahwe, karena tidak
ada dalam Alkitab?
Oleh karena itu, saya menyarankan agar belajar lebih banyak tentang
sejarah kekristenan di Timur Tengah, tempat kekristenan mula-mulanya
berkembang. Peranan filologi (ilmu perbandingan bahasa) juga sangat
penting dalam memperkaya kajian ini, sebelum mereka begitu bersemangat
menyebarkan pendapat yang jelas-jelas tidak ilmiah.
KATA ALLAH DAN PADANANNYA DALAM BAHASA IBRANI DAN ARAMI
Dalam menilai kata Allah, kita harus memahami bahwa kata itu serumpun
dengan kata-kata bahasa Semitik yang lebih tua (yang dipakai di Timur
Tengah: Ibrani dan Arami). Kata Allah itu cognate dengan kata Ibrani:
El, Eloah, Elohim; dan kata Arami Elah, Alaha, yang semuanya terdapat
dalam Perjanjian Lama ataupun dalam Targum (komentar-komentar Taurat
dalam bahasa Arami yang lazim dibaca mulai dari zaman sebelum Al-Masih,
zaman Sayidina Isa hingga hari ini).
Perlu anda ketahui, sebagian kecil Kitab Perjanjian Lama juga ditulis
dalam bahasa Arami, yakni beberapa pasal Kitan Ezra dan juga beberapa
pasal dari Daniel. Marilah kita baca dan cermati ayat-ayat yang
menggunakan kata elah di bawah ini:
“Be Shum elah yisra’el …”
Daniel 5 : 1, “Demi Nama Allah Israel.”
“…di elahekon hu elah elahin, umara malekin
Daniel 2:47, “Sesungguhnya Elah-mu itu elah yang mengatasi segala elah dan berkuasa atas para raja.
Sedangkan bentuk Ibrani yang dekat dengan istilah Arami elah dan Arab
ilah, al-ilah dan Allah adalah sebutan eloah, misalnya disebutkan:
“Eloah mi-Teman yavo we Qadosh me-Har Paran, Selah”
Yaitu Habakuk 3 : 3, yang bererti -
“Eloah akan datang dari negeri Teman, dan Yang Mahakudus dari pergunungan Paran, Sela.”
Tetapi argumentasi ini pun segera ditanggapi dengan traktat mereka.
Menurut mereka, istilah el, elohim, eloah (Ibrani) dan elah, alaha
(Arami/Syriac) tidak sejajar dengan istilah Arab Allah berasal dari ilah
(God, sembahan). Dengan awalan kata sandang di depannya Al (Inggris:
the), makna the god, “sembahan yang itu”. Maksudnya sembahan atau ilah
yang benar.
“Laa ilaha ilallah”. Tidak ada ilah selain Allah. Allah adalah
satu-satunya ilah. Ungkapan Laa ilaha ilallah ini, dijumpai pula dalam
Alkitab terjemahan bahasa Arab, 1 Korintus 8 : 4-6 berbunyi :
“… wa’an Laa ilaha ilallah al-ahad, …faa lana ilahu wahidu wa huwa
al-Abu iladzi minhu kullu sya’in wa ilahi narji’u, wa huwa rabbu wahidu
wa huwa Yasu’ al-Masihu iladzi bihi kullu syai’in wa bihi nahya”
Yakni maksudnya :
Dan sesungguhnya tidak ada ilah selain Allah, Yang Mahaesa … dan bagi
kita hanya ada satu ilah/sembahan yaitu Bapa, yang dari-Nya berasal
segala sesuatu dan kepada-Nya kita akan kembali, dan hanya ada satu
Rabb/Tuhan, yaitu Yesus Kristus yang melalui-Nya (sebagai Firman Allah)
telah diciptakan segala sesuatu dan untuk Dia kita hidup). (5)
Mereka begitu entengnya menanggapi hal ini. Menurut brosur mereka,
istilah ‘Allah’ memang ada dalam Alkitab berbahasa Ibrani, tetapi
artinya “sumpah” (1 Raj. 8:31; II Taw. 6:22). Mereka benar, tetapi
mereka juga harus tahu, seperti kata Yahweh tidak turun dari langit.
Demikian pula kata elohim, eloah, elah berasal dari akar kata tertentu.
Menurut C.L. Schofield, istilah elah berasal dari akar kata el (Yang
Maha kuat) dan alah (sumpah):
“to swear, to bind oneself by an oath, so implifying faithfullness.” (6)
Jadi, di hadapan hadirat El (Yang Maha kuat) seseorang mengikat sumpah
(alah). Dari kata El dan alah ini, kemudian terbentuklah kata elah.
Sedangkan bentuk elohim, dengan akhiran im menunjukkan jamak untuk
menekankan kebesaran (pluralis maestaticus). Oleh para pujangga gereja
kata tersebut ditafsirkan secara alegoris sebagai bukti dari sifat
ketritunggalan Allah. Karena itu, sangat gegabah untuk menolak fakta
keserumpunan antara Arab dengan bahasa Ibrani dan Aram, hanya dengan
argumentasi dangkal seperti ini.
Kata alah (dengan satu “l”) memang ada dalam bahasa Ibrani yang berarti
“sumpah, kutuk”. Berbeda dengan bahasa Arab allah (dengan dua huruf
“L”). Dua huruf “l” (lam) yang dalam istilah Allah menunjukkan
asal-usulnya dari kata sandang Al (the) dan ilah (god) seperti
dikemukakan di atas. (7)
ISTILAH ALLAH DI LINGKUNGAN KRISTIAN SYRIA PRA-ISLAM
Seperti istilah Yahweh pernah dipuja secara salah di sekitar wilayah
Samaria, terbukti dari inskripsi Kuntilet Ajrud dan Khirbet el-Qom,
demikian juga istilah Allah disalahgunakan di sekitar Mekkah sebelum
zaman Islam. Tetapi istilah Allah dipakai sebagai sebutan bagi Khaliq
langit dan bumi oleh orang-orang Kristen Arab di wilayah Syria. Hal ini
dibuktikan dari sejumlah inskripsi Arab pra-Islam yang semuanya ternyata
berasal dari lingkungan Kristen.
Salah satu inskripsi kuno yang ditemukan pada tahun 1881 di kota Zabad,
sebelah tenggara kota Allepo (Arab: Halab), sebuah kota di Syria
sekarang, meneguhkan dalil tersebut. Inskripsi Zabad ini telah
dibuktikan tanggalnya berasal dari azman sebelum Islam, tepatnya tahun
512. Menariknya, inskripsi ini diawali dengan perkataan Bism-al-lah,
“Dengan Nama al-lah” (bentuk singkatnya: Bismillah, “Dengan Nama
Allah”), dan kemudian diusul dengan nama-nama orang Kristen Syria. Bunyi
lengkap inskripsi Arab Kristen ini dapat direkonstruksi sebagai
berikut:
“Bism’ al-lah: Serjius bar ‘Amad, Manaf wa Hani bar Mar al-Qais, Serjius bar Sa’d wa Sitr wa Sahuraih”
terjemahannya :
- Dengan Nama Allah: Sergius putra Amad, Manaf dan Hani putra Mat al-Qais, Sergius putra Sa’ad, Sitr dan Shauraih. (8)
Menurut Yasin Hamid al-Safadi, dalam The Islamic Calligraphy, inskripsi
pra-Islam lainya yang ditemukan di Ummul Jimal dari pertengahan abad
ke-6 Masehi, membuktikan bahwa berbeda dengan yang terjadi di Arab
selatan, di sekitar Syria nama ‘Allah’ disembah secara benar. Inskripsi
Ummul Jimmal diawali dengan kata-kata Allah ghafran (Allah mengampuni).
(9)
Bahkan menurut Spencer Trimingham, dalam bukunya Christianity among the
Arabs in the pre-Islamic Times, membuktikan bahwa pada tahun yang sama
dengan diadakannya Majma’ (Konsili) Efesus (431), di wilayah suku Arab
Hartis (Yunani: Aretas ) dipimpin seorang uskup yang bernama ‘Abd Allah
(Hamba Allah). (10)
Dari bukti-bukti arkeologis ini, jelas bahwa sebutan Allah sudah dipakai
di lingkungan Kristen sebelum zaman Islam yang dimaknai sebagai sebutan
bagi Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi.
PENGGUNAAN BAHASA IBRANI, YUNANI DAN ARAMI PADA ZAMAN YESUS
Cukup mengherankan bahwa “para penentang Allah” itu selalu menggunakan
Ha B’rit ha-Hadasah (Perjanjian Baru bahasa Ibrani) dan memperlakukannya
seolah-olah itulah teks bahasa aslinya. Dalam Perjanjian Baru berbahasa
Ibrani ini tentu saja kita akan menjumpai nama Yahwe. Tetapi Perjanjian
Baru berbahasa Ibrani itu adalah hasil terjemahan dari bahasa Yunani.
Penerjemahan dilakukan oleh United Bible Society in Israel, baru pada
tahun 1970-an.
Perjanjian Baru aslinya ditulis dalam bahasa Yunani Koine dan para rasul
Yesus tidak mempertahankan nama diri Yahwe. Saya setuju bahwa Yesus
ketika masuk ke sinagoge, Baginda mengutip teks-teks Perjanjian Lama
dalam bahasa Ibrani (Lukas 4:18-19). Namun, kita juga harus paham bahwa
Baginda juga telah bercakap-cakap dalam bahasa Arami dengan
murid-murid-Nya sebagai “bahasa ibunda” masyarakat Yahudi pada zaman
intu.
Penulisan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani karena bahasa ini menjadi
bahasa yang paling luas digunakan di seluruh wilayah kekaisaran Romawi
pada zaman itu. Meskipun demikian, Perjanjian Baru Yunani itu tidak
dapat dipahami tanpa melihat latar belakang budaya Arami. (11) Oleh
karena kitab ini masih memelihara beberapa ungkapan Arami – yang waktu
itu juga biasa disebut Ibrani – sebab dianggap sebagai salah satu dialek
tutur saja bagi masyrakat Yahudi di Galilea. Beberapa contoh kata Arami
yang dipelihara itu, antara lain: Talita Kum (Mark 5 : 41), Gabbata
(Yohanes 19 : 13), Maranatha (1 Korintus 16 : 23).
Salah satu bukti bahwa Yesus membaca Targum berbahasa Arami, di mana
kata Alaha (yang cognate dengan bentuk Ibrani: Eloah, dan Arab: Allah)
adalah ungkapan Yesus dalam Markus 15:33, Elohi, Elohi, l’mah
sh’vaktani. Sebab dalam teks Mazmur 22:2 bahasa Ibraninya: Eli, Eli
lamah ‘azvatani. Selanjutnya, apabila bahasa asli Perjanjian Baru
ditulis dalam bahasa Yunani dan para rasul tidak mempertahankan nama
Yahwe, lalu apa pula dasar dan alasan mereka mati-matian
mempertahankannya?
Para rasul penulis Perjanjian Baru menterjemahkan Kyrios (Tuhan) sebagai
kata ganti Yahwe. Sebut satu contoh saja, misalnya Haddebarim/ Ulangan 6
: 4 dalam bahasa asli (Ibrani):
“Syema Ysrael, Adonai Elohenu, Adonay Ehad”.
Kutipan ayat ini ditemukan dalam Markus 12 : 29, di mana nama Yahwe
diterjemahkan Kyrios – Tuhan, mengikut terjemahan Yunani Septuaginta:
“Akoue, Israel, Kurios ho theos hemin, kurios eis esti”
- Dengarlah wahai Israel, Kurios (Tuhan) itu Theos/Allah kita, Kurios/Tuhan itu Esa.
Jadi, sekali lagi Markus sang penulis Injil pun tidak mempertahankan
nama Yahwe. Lalu, apakah mereka berani berkata bahwa seluruh penulis
Perjanjian Baru itu adalah salah?
Dalam bahasa Ibrani istilah “Nama” juga tidak bisa dipahami secara
harfiah seperti nama-nama: Suharto, Suradi, Marsudi, Wan, Ngah dan
sebagainya. Dalam hal ini anda harus bedakan antara “nama” (yang berasal
dari bahasa manusia yang dibatasi oleh konteks ruang dan waktu) dengan
“Dia yang dinamakan” (Yang Absolute, tidak terbatas, tidak terhingga).
“Nama” dalam teologi Yahudi lebih menunjuk kepada “Kuasa di balik Ia
yang di-Nama-kan”. Karena itu, orang-orang Yahudi hanya mempertahankan
tetagramaton (keempat huruf suci: y h w h), tetapi tidak membacanya
dalam tradisi lisan. Kata itu sudah lazim dibaca dengan: Adonay
(Tuhanku) atau Ha-Shem (“the Name”, Sang Nama).
Silakan mereka memeriksa tradisi Yahudi ini, misalnya literatur Yahudi:
Humasah Hunasy Torah ‘im Targum Onqelos, (12) berbahasa Ibrani dan Arami
yang lazim dipakai pemeluk Yahudi hingga zaman sekarang ini.
Kesimpulan saya, apabila kita menolak usulan para “penentang Allah” itu,
bukan sekadar menimbang manfaat atau mudaratnya saja. Manfaatnya jelas
tidak ada sama sekali. Mudaratnya jelas tidak hanya membingungkan umat
Kristiani, tetapi telah membuka “barisan permusuhan” dengan umat Islam.
Yang lebih penting lagi, tidak ada gunanya berdialog dengan orang-orang
yang memang tidak memenuhi standard berpikir ilmiah itu. “Tetapi mereka
menghujat segala sesuatu yang tidak mereka ketahui,” demikian Yudas
1:10, dan lanjutan ayat ini saya tidak tega untuk menuliskannya di sini.
Nota-nota dan Referensi
Majalah DR, “Ketika Allah diperdebatkan”, 9-14 Ogos 1999.
Andrew D. Clarcke dan Bruce W.Winters (ed.), Satu Allah satu Tuhan:
Tinjauan Alkitab tentang Pluralisme Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1995), hlm.50
Buthros ‘Abd al-Malik (ed.), Qamus al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Jami’ al-Kana’is fii al-Syarif al-Adniy, 1981), hlm.107
Al-Qamas Isodorus al-Baramus, Al-Ajabiyat: shalawat As-Sa’at wa Ruh
al-Tashra’at (Kairo: Maktabah Mar Jurjis al-Syaikulaniy Syabra, 1996),
hlm. 79.
“Risalat Bulus ar-Rasul ila Ahl Kurinthus al-Awwal 8 : 4-6″, dalam
al-Kitab al-Muqaddas (Beirut: Dar al-Kitab al-Muqaddas fii al-Syariq
al-Ausath, 1992).
Rev. C.I. Schofield (ed.), Holy Bible, Schofield Reference (London: Oxford University Press, 1945), hlm.3
Kita lihat bahwa Allah itu Al-nya merupakan hamzah washl. Kerana itu
menjadi wallahi, billahi dan sebagainya. Itu berarti kata Allah bukan
merupakan akar kata yang asli. Sebab akar kata yang asli pasti
menggunakan hamzah qath’. Lihat: Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan:
Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta:
Paramadina, 1998), hlm.262.
Bacaan Bism al-lah (Dengan Nama Allah) berasal dari Yasin Hamid
al-Safadi, Kaligrafi Islam. Alih Bahasa: Abdul Hadi WM (Jakarta: PT.
Panca Simpati, 1986), hlm. 6. Sedangkan M.A. Kugener, Note sur
l’inscription triligue de Zebed (1907) seperti dikutip Spencer
Trimingham Christianity Among the Arabs in pre Islamic Times
(London-Beirut: Longman-Librairie du Liban, 1979), hlm. 226, membacanya
“Teym al-Ilah”.
Jadi, sebagai nama diri yang diusul oleh nama-nama lainnya, bukan
sebagai bunyi sebuah doa. Tetapi apa pun bunyi yang paling tepat dari
awal inskripsi itu, yang jelas kata al-llah, Allah sudah dipakai dalam
makna Tauhid Kristen, dan bukan dalam makna dewa berhala yaitu pagan.
Yasin Hamid al-Safadi, Loc.Cit
Spencer Trimingham, Op. Cit. Hlm. 74
Matthew Black, An Aramaic Approach to the Gospels and Acts (Oxford: At the Calrendon Press, 1967).
Rabbi Nosson Scherman-Rabbi Meir Zlotowitz (ed.), Humasah Humasy Torah
‘im Targum Onqelos (Brooklyn: Mesorah Publications, Ltd. 1993),
hlm.xxvi. Selanjutnya, mengenai Nama (dan nama-nama) Allah, cf.
“Parashas Shemos”, hlm.304-305.
point yang penting dari penjelasan tersebut
1. Tuhan yang disembah orang Islam sama dengan yang di sembah para nabi dan pengikutnya ,sebelum kenabian nabi Muhammad
2. bahwa Nama YHWH pernah disimpangkan,
seperti yang tertulis:
“Saya pun membuktikan berdasarkan inskripsi-inskripsi kuno yang
ditemukan di Kuntilet Ajrud, di sekitar Nablus sekarang. Di daerah
tersebut nama Yahweh pernah dipuja bersama-sama dewi kesuburan Asyera.
Salah satu bunyi inksripsi Kuntilet Ajrud, seperti disebut Andrew D.
Clarke dan Bruce W. Winters (ed.), One God, One Lord; Christianity in a
world of religious Pluralism, dalam bahasa Ibrani:
Birkatekem le-Yahweh syomron we le ‘asyeratah
Yakni – Aku memberkati engkau demi Yahwe dari Samaria dan demi Asyera. (2)
Dengan fakta di atas, apakah kita dapat mengatakan kita jangan
menggunakan nama Yahwe karena nama ini sekutu Asyera, dewi kesuburan
Palestina? Argumentasi ini dijawab oleh mreka, bahwa semua yang saya
kemukakan itu tidak perlu ditanggapi karena tidak berdasar pada Alkitab.
Ya, maksud mereka adalah saya tidak perlu mengutip data-data arkeologi
dalam berargumentasi, kecuali hanya berdasarkan ayat-ayat Alkitab.”
kemudian dari penjelasan intelektual yang sebelumnya adalah intelektual Kristen,yaitu Jerald f dirk
Penggunaan kata Allah yang berarti Tuhan sering kali terdengar agak
aneh, esoterik, dan asing bagi telinga orang Barat. Allah adalah kata
dalam bahasa Arab yang berasal dari pemadatan al dan Ilah. Ia berarti
Tuhan atau menyiratkan Satu Tuhan. Secara linguistik, bahasa Ibrani dan
bahasa Arab terkait dengan bahasa-bahasa Semitik, dan istilah Arab Allah
atau al-Ilah terkait dengan El dalam bahasa Ibrani, yang berarti
Tuhan.1 El-Elohim berarti Tuhannya para tuhan atau Sang Tuhan.2 Ia
adalah kata bahasa Ibrani yang dalam Perjanjian Lama diterjemahkan
Tuhan. Karena itu, kita bisa memahami bahwa penggunaan kata Allah adalah
konsisten, bukan hanya dengan Al-Qur’an dan tradisi Islam, tetapi juga
dengan tradisi-tradisi-biblikal yang tertua.
Persamaan mendasar antara istilah Arab al-Ilah, di mana Allah merupakan
pemadatannya, dan istilah Ibrani El-Elohim bisa dipahami secara lebih
jelas jika kita memerhatikan abjad bahasa Arab dan Ibrani. Baik bahasa
Arab maupun Ibrani sama-sama tidak memiliki huruf untuk bunyi vokal.
Abjad kedua bahasa tersebut hanya terdiri dari konsonan, dan keduanya
bersandar pada penandaan sebagai bunyi vokal yang secara khas ditemukan
hanya dalam tulisan formal sebagai satu petunjuk pengucapan.
Transliterasi bahasa Indonesia dari istilah Arab al-Ilah dan istilah
Ibrani El-Elohim telah memasukkan penandaan-penandaan vokal ini. Jika
kita harus menghilangkan transliterasi Indonesia berupa
penandaan-penandaan vokal ini, maka istilah Arab tersebut menjadi al-Ilh
dan istilah Ibrani di atas menjadi El-Elhm. Jika kita harus
menghilangkan bentuk jamak, yang hanya ditemukan dalam bahasa Ibrani,
maka istilah Arabnya tetap al-Ilh, sementara istilah Ibraninya menjadi
El-Elh. Akhirnya, jika kita harus melakukan transliterasi atas seluruh
“alif” dalam bahasa Arab sebagai “a”, dan seluruh “alif” dalam bahasa
Ibrani sebagai “a” juga, maka istilah Arabnya menjadi Al-Alh, dan
istilah Ibraninyapun menjadi Al-Alh. Dengan kata lain, dengan
pengecualian tunggal bahwa bahasa Ibrani menggunakan bentuk jamak,
al-Ilah, di mana Allah merupakan pemadatannya, dan El-Elohim, istilah
Ibrani yang diterjemahkan sebagai Tuhan dalam Perjanjian Lama,
benar-benar merupakan istilah yang sama sekali identik dalam bahasa Arab
dan Ibrani, dua bahasa yang memiliki hubungan sangat erat.
kemudian dari kalangan “ulama islam”
soal keunikan nama Allah, saya akan menyampaikan dari sumber tulisan orang/ulama Islam.
Kata ‘Allah’ merupakan nama Tuhan yang paling populer. Apabila anda
berkata :”Allah..”, maka apa yang anda ucapkan itu telah mencakup semua
nama-nama-Nya yang lain, sedangkan bila anda mengucapkan nama-nama-Nya
yang lain – misalnya ‘ar-Rahmaan’, ‘al-Malik’ dan sebagainya – maka ia
hanya menggambarkan sifat Rahman, atau sifat kepemilikan-Nya. Disisi
lain, tidak satupun dapat dinamakan Allah, baik secara hakikat maupun
secara majazi, sedangkan sifat-sifat-Nya yang lain – secara umum – dapat
dikatakan bisa disandang oleh makhluk-makhluk-Nya. Bukankah kita dapat
menamakan si Ali yang pengasih sebagai ‘Rahiim’?, atau Ahmad yang
berpengetahuan sebagai ‘Aliim’?. Secara tegas, Tuhan Yang Maha Esa itu
sendiri yang menamakan dirinya Allah.
14. Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain
Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku.
(Thaahaa). Innanii = sesungguhnya Aku, anaa = Aku, Allaahu = Allah, laa
ilaaha = tidak ada tuhan, illaa = melainkan, ana = Aku…
Dia juga dalam Al-Qur’an yang bertanya :”hal ta’lamu lahuu samiyyaa..”
(Surat Maryam ayat 19). Ayat ini, dipahami oleh pakar-pakar Al-Qur’an
bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada sesuatu yang bernama seperti
nama ini..?” atau :”Apakah engkau mengetahui sesuatu yang berhak
memperoleh keagungan dan kesempurnaan sebagaimana pemilik nama itu
(Allah)?” atau bermakna :”Apakah engkau mengetahui ada nama yang lebih
agung dari nama ini?”, juga dapat berarti :”Apakah kamu mengetahui ada
sesuatu yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?”
Pertanyaan-pertanyaan yang mengandung makna sanggahan ini kesemuanya
benar, karena hanya Tuhan Yang Maha Esa yang wajib wujudnya itu yang
berhak menyandang nama tersebut, selain-Nya tidak ada, bahkan tidak
boleh. Hanya Dia yang berhak memperoleh keagungan dan kesempurnaan
mutlak, sebagaimana tidak ada nama yang lebih agung dari nama-Nya itu.
Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut antara lain
apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang
berpendapat bahwa kata ‘Allah’ tidak terambil dari satu akar kata
tertentu, tapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib
wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya
kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi
banyak ulama berpendapat, bahwa kata ‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’,
yang dibubuhi huruf ‘Alif’ dan ‘Laam’ dan dengan demikian, ‘Allah’
merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya.
Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat
berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah’. Dalam Bahasa Inggeris, baik
yang bersifat umum maupun khusus, keduanya diterjemahkan dengan ‘god’,
demikian juga dalam Bahasa Indonesia keduanya dapat diterjemahkan dengan
‘tuhan’, tapi cara penulisannya dibedakan. Yang bersifat umum ditulis
dengan huruf kecil ‘god/tuhan’, dan yang bermakna khusus ditulis dengan
huruf besar ‘God/Tuhan’.
‘Alif’ dan ‘Laam’ yang dibubuhkan pada kata ‘Ilaah’ berfungsi
menunjukkan bahwa kata yang dibubuhi tersebut merupakan sesuatu yang
telah dikenal dalam benak. Kedua huruf tersebut sama dengan ‘The’ dalam
bahasa Inggeris. Kedua huruf tambahan itu menjadi kata yang dibubuhi
menjadi ‘ma’rifat’ atau ‘definite’ (diketahui/dikenal). Pengguna Bahasa
Arab mengakui bahwa Tuhan yang dikenal dalam benak mereka adalah Tuhan
Pencipta, berbeda dengan tuhan-tuhan (aliihah/bentuk jamak dari ilaah)
yang lain. Selanjutnya dalam perkembangannya lebih jauh dan dengan
alasan mempermudah, ‘hamzah’ yang berada antara dua ‘laam’ yang dibaca
‘i’ pada kata ‘al-Ilaah’ tidak dibaca lagi, sehingga berbunyi ‘Allah’
dan sejak itulah kata ini seakan-akan telah merupakan kata baru yang
tidak memiliki akar kata, sekaligus sejak itu pula kata ‘Allah’ menjadi
nama khusus bagi Pencipta dan Pengatur alam raya yang wajib wujud-Nya.
Sementara ulama berpendapat bahwa kata ‘Ilaah’ yang darinya terbentuk
kata ‘Allah’ berakar dari kata ‘al-Ilaahah’, ‘al-Uluuhah’ dan
‘al-Uluuhiyyah’ yang kesemuanya menurut mereka bermakna
‘ibadah/penyembahan’, sehingga ‘Allah’ secara harfiah bermakna ‘Yang
Disembah’. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut berakar dari
kata ‘Alaha’ dalam arti ‘mengherankan’ atau ‘menakjubkan’ karena segala
perbuatan/ciptaan-Nya menakjubkan atau karena bila dibahas hakekat-Nya
akan mengherankan akibat ketidak-tahuan makhluk tentang hakekat zat Yang
Maha Agung itu. Apapun yang terlintas dalam benak menyangkut hakekat
zat Allah, maka Allah tidak demikian. Itu sebabnya ditemukan riwayat
yang menyatakan :”Berpikirlah tentang makhluk-makhluk Allah dan jangan
berpikir tentangZat-Nya”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’
terambil dari akar kata ‘Aliiha Ya’lahuu” yang berarti ‘tenang’, karena
hati menjadi tenang bersama-Nya, atau dalam arti ‘menuju’ dan ‘bermohon’
karena harapan seluruh makhluk tertuju kepada-Nya dan kepada-Nya jua
makhluk bermohon.
Memang setiap yang dipertuhankan pasti disembah dan kepadanya tertuju
harapan dan permohonan lagi menakjubkan ciptaannya, tetapi apakah itu
berarti bahwa kata ‘Ilaah’ – dan juga ‘Allah’ – secara harfiah bermakna
demikian..? , dapat dipertanyakan apakah bahasa atau Al-Qur’an yang
menggunakannya untuk makna ‘yang disembah’?. Kalau anda menemukan semua
kata ‘Ilaah’ dalam Al-Qur’an, niscaya akan anda temukan bahwa kata itu
lebih dekat untuk dipahami sebagai penguasa, pengatur alam raya atau
dalam genggaman-Nya segala sesuatu, walaupun tentunya yang meyakini
demikian, ada yang salah pilih ‘ilaah’nya.
Kata ‘Allah’ mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh kata
selainnya, ia adalah kata-kata yang sempurna huruf-hurufnya, sempurna
maknanya, serta memiliki kekhususan berkaitan dengan rahasianya,
sehingga sementara ulama menyatakan bahwa kata itulah yang dinamai
‘Ismu-Ilaah al-A’zham (Nama Allah yang paling mulia). Yang bila
diucapkan dalam do’a, Allah akan mengabulkannya. Dari segi lafaz
terlihat keistimewaan ketika dihapus huruf-hurufnya. Bacalah kata
‘Allah’ dengan menghapus huruf awalnya, akan berbunyi ‘Lilaah’ dalam
arti ‘milik/bagi Allah’, kemudian hapus huruf awal dari kata ‘Lilaah’,
itu akan terbaca ‘Laahu’ dalam arti ‘bagi-Nya’, selanjutnya, hapus lagi
huruf awal dari ‘Laahu’, akan terdengan dalam ucapan ‘Huu’, yang berarti
‘Dia (menunjuk Allah), dan apabila itupun dipersingkat akan terdengar
suara ‘Ah’ yang sepintas atau pada lahirnya mengandung makna keluhan,
tapi pada hakekatnya mengandung makna permohonan kepada Allah. Karena
itu sementara ulama berkata bahwa kata ‘Allah’ terucap oleh manusia,
sengaja atau tidak sengaja, suka atau tidak suka. Itulah salah satu
bukti adanya ‘fitrah’ dalam diri manusia. Al-Qur’an juga menegaskan
bahwa sikap orang-orang musyrik adalah :
38. Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang
menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka menjawab: “Allah”. (Az
Zumar)
dari segi makna dapat dikatakan bahwa kata ‘Allah’ mencakup segala
sifat-sifat-Nya, bahkan Dia-lah yang menyandang nama-nama tersebut,
karena itu jika anda berkata “Yaa..Allah..”, maka semua
nama-nama/sifat-sifat-Nya telah tercakup oleh kata tersebut. Disisi
lain, jika anda berkata ‘ar-Rahiim’, maka sesungguhnya yang anda maksud
adalah Allah. Demikian juga ketika anda menyebut ‘al-Muntaqim’ (yang
membalas kesalahan), namun kandungan makna ‘ar-Rahiim’ (Yang Maha
Pengasih) tidak tercakup didalam pembalasan-Nya, atau sifat-sifat-Nya
yang lain. Itulah salah satu sebab mengapa dalam syahadat seseorang
selalu harus menggunakan kata ‘Allah’ ketika mengucapkan ‘Asyhadu an Laa
Ilaaha Illa-llaah’ dan tidak dibenarkan menggantinya dengan
nama-nama-Nya yang lain.
Demikianlah Allah, karena itu tidak heran jika ditemukan sekian banyak
ayat di dalam Al-Qur’an yang memerintahkan orang-orang beriman agar
memperbanyak zikir menyebut nama Allah, karena itu setiap perbuatan yang
penting hendaknya dimulai dengan menyebut nama itu, nama Allah.
Rasulullah bahkan mengajarkan lebih rinci lagi :”Tutuplah pintumu dan
sebutlah nama Allah, padamkanlah lampumu dan sebutlah nama Allah,
tutuplah periukmu dan sebutlan nama Allah, rapatkanlah kendi airmu dan
sebutlah nama Allah…”